Senja dan Ujung Ilalan (Prolog - Bab 3)


PROLOG

Aku tahu Dia telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Sejauh ingatanku, Aku tidak pernah jatuh cinta sampai segila ini pada seseorang, kecuali padanya.
Banyak orang di sekitarku yang bertanya-tanya, bagaimana orang sepertiku bisa jatuh cinta kepadanya. Entahlah, Aku pun tidak tahu kenapa. Mungkin Aku adalah salah satu dari segelintir orang yang tidak memerlukan alasan untuk mencintai seseorang, karena cinta yang tumbuh dalam hati akan tumbuh begitu saja.
Hampir lima tahun berlalu semenjak Aku pergi dari masa itu. Masa SMA. Pasti di antara kalian ada yang tahu bagaimana indahnya masa SMA itu, Begitu juga denganku.
Aku berdiri di depan pintu perpustakaan sekolah tempat Aku bekerja, memandangi langit sore yang indah dan cerah ini. Sore ini sama persis dengan sore ketika Aku melihatnya di belakang sekolah ini lima tahun lalu, ketika kami SMA.
Hingga Aku sebesar ini, Aku masih tetap ingat   dengan apa yang terjadi saat itu, bahkan secara mendetail. Bahkan sampai hari ini Aku masih melakukan hal yang sering Aku lakukan ketika bersamanya.
Kupejamkan mataku, kuhela udara di sekitarku dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan dan Aku membuka mataku.
Lalu Kulenggangkan tubuhku menuju padang ilalang di belakang sekolah ini.
Aku duduk di antara ilalang-ilalang yang sedang tumbuh, memandangi langit jingga emas dan sawah yang membentang luas di hadapanku.
Aku akan selalu berada di sini setiap kali Aku merindukannya. Karena hanya di tempat ini Aku bisa merasakan keberadaannya. Di antara ilalang-ilalang itu.
Saat melihat ilalang-ilalang itu entah kenapa Aku merasakan hal aneh dalam hatiku, itu seperti rasa senang dan sedih datang bersamaan dan ketika itu juga kenangan-kenangan akan hari itu bermunculan dalam ingatanku.
Aku memandangi ilalang-ilalang itu dengan segala kenangan yang sedang berkecamuk dalam kepalaku.
Ilalang akan selalu terlihat indah di mataku sekarang, bahkan lebih indah dari sekuntum mawar sekalipun. Karena saat Aku melihat ilalang, Aku akan selalu teringat wajah cantik seseorang, Si Gadis Ilalang. Naisa Tasra, yang Aku cintai.



SATU

Bogor, 2008

Namaku Auzril Rohf, umurku 17 tahun saat itu. Aku tinggal dan dibesarkan di daerah barat kota Bogor. Tak ada kota yang lebih indah dari kota ini, penduduknya begitu ramah, bagaimana perpaduan antara permandangan kota dengan pedesaan terlihat sangat indah: sawah-sawah yang bertemu dengan komplek perumahan mewah akan menjadi permandangan indah tersendiri bagi yang melihatnya.
Hanya ada satu pasar tradisional di sini dan salah satu yang terbesar se-Bogor barat, tak heran jika kebanyakan penduduk di sini bermata pencaharian sebagai pedagang.
Pergantian musim akan terjadi antara bulan Juli atau Agustus, dan pada saat itu angin akan berhembus kencang, anak-anak akan terlihat berlarian sepanjang sore dengan kaki telanjang, bermain layang-layang atau sekedar kejaran-kejaran. Remaja-remaja biasanya hanya akan sekedar nongkrong di tepian jalan setelah pulang sekolah.
Suasana keagamaan di sini masih terasa kental, sebagai kota kecil yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam, di kota ini akan terlihat banyak sekali Mesjid, walau yang paling terkenal hanya ada dua; Mesjid Al-Awalien dan At-Taqwa.
Sepanjang tahun hujan akan turun lebih sering turun di kota ini, walau puncaknya akan terjadi pada musim hujan antara Agustus Akhir hingga Maret. Dan biasanya akan terjadi banjir di beberapa daerah—terutama di Jakarta—jika Bogor dituruni hujan deras sepanjang hari.
Walau bukan kota metropolitan, tapi Bogor punya daya tariknya sendiri. Banyak landmark yang bisa kalian kunjungi, di antaranya Tugu Kujang, Istana Bogor, Kebun Raya, dan yang terbesar adalah Taman Safari Indonesia. Dan di Bogor barat kalian bisa mengunjungi banyak tempat wisata alam, seperti mengunjungi Air terjun atau mendaki Gunung Salak.
Aku lahir dan di besarkan di sini, pada saat aku masih kecil ayahku mengajakku ke tempat-tempat itu walau hanya sekali seumur hidupku.
Ngomong-ngomong soal ayah, aku memang tinggal dan hidup sederhana bersama kedua orang tuaku dan satu kakakku. Hidup kami berkecukupan karena orang tuaku bekerja. Ayahku, Faisal Rohf bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor Pemerintahan Kota Bogor. Ibuku, Nina Rohf bekerja sebagai Guru bertitel Pegawai Negeri Sipil.
Titel semacam itu sudah seperti kalimat sihir bagi banyak orang. Mereka yang ingin mendapatkannya bisa merelakan apapun demi mendapat title itu dan orang tua sudah mendapatkannya jauh sebelum mereka menikah. Mereka mendapatkan gelar itu dengan sangat mudah, tidak sesulit sekarang.
Kakakku, Fauzi Rohf sudah bekerja sebagai nahkoda dan sudah memiliki istri dan anak. Hanya beberapa kali pulang dalam setahun, itu pun pulang kerumah mertuanya. Kami jarang bertemu.
Walau hanya seorang pegawai negeri kantoran, tapi bisa dibilang ayahku adalah orang yang populer, banyak yang orang mengenalnya, mungkin karena selain menjadi pegawai negeri, ayahku juga merangkap sebagai sekretaris Palang Merah Indonesia Bogor, menjadi pengurus KONI wilayah Bogor dan mantan atlit sepak bola yang pernah mewakili Jawa Barat di Pekan Olah Raga Nasional puluhan tahun lalu.
Di mata orang-orang, ayahku adalah orang baik, tegas dan bertanggung jawab. Entah orang-orang itu yang salah atau aku yang tidak pernah merasakan hal semacam itu pada diri ayahku. Bagaimanapun aku anaknya, aku lebih tahu siapa ayahku. Ayahku memang baik, tapi dia bukan orang yang bertanggung jawab, maksduku dalam hal mendidik anak.
Dari SD sampai aku SMA aku jarang sekali menerima perhatian dari ayah. Dia tak pernah menanyakan bagaimana hari-hariku di sekolah, apa yang terjadi selama sekolah, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan, satu kalipun dia belum pernah menyempatkan dirinya untuk menghadiri acara pengambilan raportku, Ibu yang selalu menggantikannya. Aku bahkan berani bertaruh kalau ayahku tidak tahu makanan kesukaanku dan hobiku.
Hubunganku dengan orang tuaku benar-benar hubungan antara anak dan orang tua. Tidak menganggap orang tua sebagai sahabat apa lagi teman curhat, terlebih hubunganku dengan ayah. Di tambah kesibukannya yang padat membuat kami jarang bertemu dan malah membuat jurang di antara kami semakin lebar.

***

Pada bulan Juli pada tahun itu adalah bulan pertamaku masuk sekolah di tahun ajaran baru. Aku baru saja naik ke Kelas XII dan mendapat kelas terbaik di jurusan IPS, yaitu kelas XII – I dan itu berarti Aku harus kembali beradaptasi dengan kelas baru beserta orang-orang baru di dalamnya.
Hanya ada beberapa orang teman sekelasku semasa kelas XI yang sekelas denganku di XII - I sekarang, salah satunya adalah Jimy. Seorang vegetarian berkulit putih dengan mata coklat dan berpenampilan menarik. Meski usianya 17 tahun, tapi bulu-bulu di wajah dan tubuhnya tumbuh lebih banyak dari orang yang seumuran dengannya.
Aku sempat berpikir kalau Jimy adalah keturunan salah satu makhluk yang ada dalam teori Darwin. Well, Dari mana pun Dia berasal, Dia tetap teman terbaikku hingga saat ini.
Selain Jimy, ada orang lain yang Aku kenal di kelas ini. Dulu, orang itu adalah sahabat terbaikku, Naisa Tasra. Dan tentang Naisa akan kuceritakan nanti.
Hari pertama sekolah biasanya akan diisi dengan perkenalan Wali Kelas baru dan pembentukan organisasi kelas dan semua itu tidak akan pernah selesai dengan cepat. Tak ada hal berarti yang Aku lakukan saat itu, Aku hanya sedikit mengobrol dengan Jimy sekedar mengenang saat kami kelas XI dan terkadang Aku mencuri-curi pandang ke arah Naisa yang duduk di samping mejaku. Beberapa kali mata kami bertemu dan seketika itu juga kami langsung melempar pandangan ke arah lain.
Sebenarnya antara Aku dan Naisa pernah mempunyai hubungan yang begitu dekat, hanya saja satu tahun lalu saat kami kelas XI hubungan pertamanan kami harus berakhir. Saat itu Dia sudah mulai terbiasa dengan lingkungan sekolah ini dan pada saat itu Dia sudah mendapat banyak teman yang di antaranya membentuk sebuah geng dan Naisa masuk ke dalam geng itu. Permasalahannya muncul ketika Naisa tak pernah lagi menemuiku. Kalaupun kami bertemu, pasti Dia sedang bersama satu gengnya itu dan Naisa tidak akan menyapaku walau kami berpapasan. Semenjak saat itulah Aku memilih untuk menjauh darinya dan memutuskan untuk menganggap kalau kami tidak pernah kenal.
Aku pernah untuk mencoba berbicara dengan Naisa mengenai hal itu, dan kalian tahu apa tanggapan dari Naisa? Tidak ada. Dia tidak mengacuhkanku dan malah menjauhi. Oke, pokoknya mulai dari sana Aku dan Naisa tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dan itu berlangsung selama satu tahun lebih, sampai akhirnya kami kembali bertemu di kelas yang sama.
Bel tanda sekolah selesai berdering memenuhi ruangan kelas, hasil dari pemilihan organisasi kelas adalah Jimy terlpilih menjadi ketua kelas. Aku sih tidak heran kalau Jimy menjadi ketua kelas, secara saat Dia kelas XI Dia pernah menjabat menjadi wakil ketua kelas dan kinerjanya sangat baik.
“Kau mau langsung pulang, Zril?” tanya Jimy saat Aku membenahi buku-buku kedalam tasku.
“Entahlah, sepertinya Aku akan pergi ke ruang band dulu.” Timpalku.
“Ada latihan?” Jimy bertanya lagi.
 “Tidak, hanya sekedar mengecek alat band, sudah hampir satu bulan alat-alat band tidak di urus.” Kataku lalu menggendongkan tas ke punggungku.
“Oh, ya sudah, kalau begitu Aku pulang duluan, teman. pacarku sudah menungguku di luar.”
Aku hanya tertawa kecil. “Selalu saja seperti itu. oke, hati-hati.” Lalu kami berpisah di luar kelas.
Aku menatap layar handphone-ku, jarum jamnya menunjukan pukul 11.33. Masih terlalu pagi untuk pulang. Kulenggangkan tubuhku menuju ruang band sekolahku. Ruang band terletak di sebelah koperasi yang berada di seberang kelasku yang dipisahkan oleh  lapangan aspal dan berbatu.
Saat Aku melewati koperasi, Aku melihat Naisa beserta gengnya sedang heboh mengobrol seraya menyantap snack yang dijual di Koperasi. Aku dan Naisa sempat bertatapan beberapa detik, sebagai orang yang tidak Dianggap teman yang kulakukan adalah kembali berjalan dan mencoba tidak memperdulikannya.
Di ruang band ternyata sudah ada Arman yang sedang fingering (Istilah melatih percepatan jari pada permainan gitar). Arman terlalu asik dengan gitarnya sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku yang sudah duduk di belakang drum. Kuhentakan kakiku pada pedal bass drum dan kupukul simbal secara bersamaan sehingga menimbulkan kombinasi suara yang cukup untuk membuat jantung seseorang copot dari tempatnya.
Arman meloncat dari tempat duduknya ketika Aku melakukan hal tersebut, Dia latah dan apa yang Arman keluarkan dari mulutnya ketika latah adalah “Auuu....auu...auu !” jujur saja, itu sangat menghibur.
“Sialan kau, Auzril !” serapahnya seraya menatapku dan mengusap-usap dadanya seperti orang tua yang kehabisan napas.
Aku hanya tertawa mendengar itu. “Maaf, teman. Habis, Aku kehabisan akal untuk membuatmu menyadari kehadiranku.”
Arman tertawa hambar. “Selamat!, kau berhasil melakukannya.” Aku berjalan mendekati Arman dan duduk di atas karpet, Arman kembali ke tempat duduk plastik dekat ampli dan sound system.
“Kau bisa menghiburku, teman?” tanyaku.
“Apa yang kau inginkan?” Arman balik bertanya seraya membetulkan kabel-kabel yang berhubungan langsung dengan sound system.
“Iringi Aku bermain, sudah lama kita tidak jamming. Tangan dan kakiku hampir kaki hampir kaku, sebulan tidak digunakan bermain drum.”
Aku berdiri dan mengambil stik drum dari dalam tasku dan berjalan kembali ke belakang drum.
“Baiklah, dengan senang hati.” Arman memutar knob volume dan mulai memetik dawai dengan efek berdistorsi.
“Okey, lets party, dude!”

***
 
Benar saja, sebulan tidak bermain drum membuat tangan dan kakiku kaku. Itu terlihat ketika jamming tadi siang bersama Arman. Aku banyak melakukan pukulan meleset, tapi tidak apa-apa, mungkin setelah beberapa kali latihan, permainan drumku bisa kembali luwes dan pas.
Pukul 14.19 Aku dan Arman pulang dari sekolah. Aku dan Arman tinggal dalam komplek perumahan yang sama. Kami biasa menggunakan angkutan umum setiap berangkat atau pulang sekolah. Di perjalanan pulang kami banyak berbincang tentang hal yang sukai, yah, walau sebagian besar adalah tentang musik.
Karena ada keperluan dengan pacarnya yang berbeda sekolah, Arman lebih dulu turun dari angkutan umum. Jadi,  tinggal Aku sendiri menapaki jalan pulang ke rumah. Jujur saja, saat itu Aku belum punya pacar dan Aku tidak bangga dengan itu. Aku sudah beberapa kali pacaran sejak kelas XI, tapi tidak pernah berlangsung lama, karena Aku selalu salah memilih perempuan. Rata-rata perempuan yang Aku pacari tidak setia dan sedikit ‘nakal’, kau tahu kan apa maksudku?
Aku turun dari angkutan umum di depan mini market seberang komplek perumahan tempatku tinggal. Bersamaan dengan turunnya Aku dari angkutan umum, kulihat Naisa keluar mini market seraya menjijing satu kantong pelastik yang entah apa isinya—oh iya, ngomong-ngomong Aku dan Naisa juga tinggal dalam komplek perumahan yang sama, selama lebih 10 tahun. Seketika itu juga Aku berjalan menjauhinya, yah minimal sampai tidak terlihat olehnya.
Kondisi jalanan sebenarnya sedang lengang, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, hanya saja kendaraan-kendaraan yang lewat melaju dengan cepat. Seperti biasa, sebelum menyeberang jalan, seseorang setidaknya akan melihat kanan kiri jalan dan itulah yang Aku lakukan saat itu. Posisiku kira-kira belasan meter dari Naisa. Aku menyeberang dan sampai di depan komplek perumahan.
Entah kenapa saat itu Aku ingin sekali melihat Naisa, Aku memutar badanku di depan gapura komplek dan melihat perempuan cantik; berambut panjang sebahu, berkulit putih dan berwajah tirus, dihiasi sepasang mata hitam yang bulat dan hidung yang sedikit pesek berdiri mengenakan seragam putih abu.
Aku mematung melihat sosok yang jauh berbeda dari Naisa yang pernah Aku kenal sebelumnya, Dia saat itu terlihat sangat cantik dan modis. Aku masih mematung dan perlahan Naisa mulai menyeberang jalan. Riuh orang yang berlalu lalang di jalan itu seperti tak terdengar kala kulihat sosok Naisa semakin besar dan mendekat kearahku. Tapi, sesuatu terjadi ketika Naisa hampir sampai di seberang jalan.
Tiba-tiba saja, ada sepeda motor yang melaju cepat dari arah barat mendekat menuju Naisa. Entah karena Naisa tidak mendengar atau bagaimana, Dia tidak menyadari kalau ada motor melaju cepat mendekatinya. Aku tahu, harusnya Aku tidak melakukan apa-apa, tapi intuisi kepriaanku muncul saat itu, Aku berlari dengan cepat ke arah Naisa dan menarik tangannya sampai kami terjatuh tepat di tepian jalan “AWAS!”, saat kami terjatuh, motor sialan itu lewat di hadapan kami.
Dalam hitungan detik orang-orang sudah berkumpul mengerumuni kami, Aku baru sadar kalau posisi jatuh kami sangat memalukan—Aku sih lebih merasa keenakan saat itu. Naisa jatuh tepat di atas badanku. Kesadaranku muncul kembali dengan cepat saat wajah kami yang sama-sama melotot saling memandang. Aku dan Naisa langsung membangunkan diri dan membersihkan debu jalanan yang menempel pada tubuh kami.
Saat itu Aku merasa Aku adalah orang yang paling kikuk di dunia. Orang-orang yang mengerumuni kami menghujamkan pertanyaan-pertanyaan “kalian tidak apa-apa?, ada yang terluka?” kami hanya menggelengkan kepala dan melempar senyum yang dipaksa. Beberapa menit kemudian kerumunan itu menghilang. Aku mengambil tasku yang tergeletak di atas tanah dan menggendeongkannya kembali di punggungku.
Aku siap untuk kembali jalan ke rumah. setelah melihat keadaan Naisa yang baik-baik saja Aku langsung melenggang pergi. Saat melewati rumah Naisa tiba-tiba saja ada yang memanggil namaku, Aku berbalik dan melihat Naisa berlari mendekatiku.
Tepat di depan pintu gerbang rumahnya yang besar Dia berbicara.
“Auzril,” Untuk pertama kalinya untuk satu tahun terakhir Dia menyebut namaku. Aku hanya Diam melihat perempuan yang sedang sibuk mengatur napas itu.
“Terima Kasih,” Kata itu keluar dengan lembut dari mulutnya, “Entah apa yang terjadi kalau tadi tidak ada dirimu,” Aku dibuat merasa tidak karuan olehnya kali ini, “Sekali lagi, terima kasih.”
 Kalian tahu apa reaksiku saat itu? Tidak ada. Mulutku mendadak tidak bisa bicara saat menatap matanya. Tatapan matanya terlihat tulus dan langsung menghujam sukmaku.
Saat Aku ingin bicara, perempuan itu sudah melenggang pergi masuk ke dalam rumahnya. Entah apa yang terjadi padaku saat itu. Akhirnya Aku pulang dengan membawa setumpuk perasaan aneh dalam hatiku.






DUA

Beberapa hari setelah kejadian hari itu, hubunganku dengan Naisa jadi sedikit membaik—hanya sedikit. Setidaknya Naisa mulai menerima keberadaanku kembali. Dia sudah bisa menyapaku kembali di manapun kami bertemu, walau sejujurnya Aku masih merasa enggan Dia bersikap seperti itu.
Ke esokan harinya, saat Aku tengah asik membaca buku sejarah, tiba-tiba saja Naisa berdiri di sampingku, Aku mendongak kaget ke arahnya ketika ia mengucapkan ‘Selamat pagi, Auzril’ seraya menaikan kedua ujungg bibirnya.
Alih-alih menjawab, Aku malah tersenyum kaget dan mengatakan ‘Ya’ sekenanya saat melihat Naisa melakukan itu—hal yang sudah tidak pernah kuterima semenjak satu tahun lalu. Naisa memindahkan tempat duduknya tepat di depan bangkuku. Entah mengapa, seketika itu juga Aku merasa hal berbeda pada diri Naisa dan pada diriku sendiri.
Aku menatap punggung Naisa yang tertutup rambut ikalnya yang menjuntai lepas. Kejadian hari itu, di mana Naisa hampir tertabrak motor masih terbayang dalam pikiranku dan Aku merasakan hal aneh di sana.
Kalian tahu, Naisa masih sangat muda dan Aku yakin dalam diusianya yang masih 17 tahun itu kemampuan mendengar dan melihatnya pasti belum menurun. Tapi, bagaimana mungkin, saat itu Dia sampai tidak sadar kalau ada sepeda motor yang melaju cepat ke arahnya. Asumsiku, mungkin saat itu ada yang sedang mengganggu pikirannya. Tapi, siapa yang tahu?
Tanpa sadar, Jimy tahu-tahu sudah duduk di sampingku. Dia terkekeh melihat lamunanku yang seraya menatap punggung Naisa.
“Naisa,” Bisik Jimy. “Apa kau tahu sesuatu tentang dirinya, Auzril?” Aku menatap Jimy tajam, mengira-ngira apa yang akan Dia bicarakan selanjutnya.
“Apa maksudmu ‘tentang sesuatu’? apa yang kau tahu?” Alih-alih menjawab, Jimy malah membalas salam dan ucapan selamat pagi salah satu teman kami yang baru tiba di kelas.
 Sesaat kulihat Naisa juga menjawab salam itu. “Hei, Jimy. Kau dengar Aku bertanya tadi?”
“Maaf, tidak sopan rasanya kalau tidak menjawab salam dari seseorang,” timpalnya. “Oke, kembali ke topik. Kau tahu sesuatu tentang Dia?”  Aku menggelengkan kepalaku. “Naisa adalah salah satu mantan pacarku,” Bisiknya.
Cukup membuatku kaget, walau hanya sesaat. “Sewaktu Kami SMP, kami berpacaran, hanya saja tidak berlangsung lama...hanya satu minggu.”
 Aku hampir saja mengeluarkan tawa terkerasku. Yah, jujur saja. Mendengar itu Aku cukup merasa terhibur. Aku jadi teringat ketika Aku SMP. Kalian tahu, kan. Aku dan Naisa sedari kecil memang tinggal dan besar di dalam lingkungan yang sama. Dan pada saat kami SMP, kami juga sekolah di tempat yang sama selama dua tahun, karena setelah itu Naisa terpaksa pindah ke luar kota karena ada masalah keluarga—soal ini akan kuceritakan nanti.
Saat kelas VIII SMP, Aku masih ingat betul Naisa pernah berpacaran dengan salah satu teman komplek tempatku tinggal. Sama seperti yang di alami Jimy, hubungan Naisa dan temanku hanya bertahan satu minggu. Aku tahu dan ingat betul apa alasan Naisa hanya mempertahan hubungannya tak lebih dari seminggu. Katanya; “Aku hanya iseng. Ingin tahu rasanya pacaran.”
Jujur saja, itu hal ternaif yang pernah kudengar saat itu—walaupun saat itu Aku pun sama naifnya. Dan kalian tahu apa yang kupikirkan? Aku berpikir kalau Jimy adalah salah satu korban ‘Ke-isengan’ Naisa. Aku hanya tertawa memikirkan hal itu.
“Kenapa kau tertawa?” kata Jimy heran, kemudian Dia pun ikut tertawa seolah-olah tahu apa yang Aku pikirkan.
Tanpa sadar, seisi kelas ternyata sudah ramai, bangku-bangku sudah terisi oleh teman-temanku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas dan berakhir tepat di punggung Naisa. Sesaat Dia mengibaskan rambutnya yang seikit basah, menyebarkan aroma sampo yang Dia gunakan. Aku dapati diriku mencium aroma rambutnya yang menyebar. Wangi rambutnya tetap sama seperti yang biasa Aku cium dulu.
Bel pelajaran berdering. Bersamaan dengan suara deringnya, Ibu Betty—Guru Geografi—melangkah masuk ke dalam kelas dengan semangatnya. Walau usia hampir menginjak kepala lima, namun semangatnya untuk mengajar—dan marah-marah—bisa dibandingkan dengan guru-guru yang usianya jauh lebih muda darinya.
Kerudung yang beliau gunakan, membuat kedutan di wajahnya terlihat jelas. Kelopak matanya mulai menurun, urat-urat yang seperti sungai amazon menonjol kendur di punggung tangannya. Tapi, seperti yang Aku katakan, penampilan fisik yang tua bukan berarti semangatnya untuk mengajar luntur seiring bertambah umurnya.
“Baik, anak-anak,” kata Ibu Betty semangat. “Sebelum pelajaran di mulai, alangkah baiknya kita berdoa terlebih dulu. Ketua kelas, pimpin doa.” Ku dengar Jimy langsung memerintah seisi kelas untuk berdoa.
“Baik, hari ini kita akan belajar tentang Perpindahan penduduk dan Jenis-jenisnya. Buka buku Geografi kalian halaman 10.” Begitu semangatnya Ibu Betty memulai pelajaran hari ini. Begitu juga denganku, Geografi adalah pelajaran favoritku sampai saat ini.

***

Pukul 12.30 jam sekolah sudah usai. Matematika memang pelajaran yang paling ampuh membuat semangatku belajarku luntur di jam-jam terakhir sekolah. Riuh rendah murid-murid yang kegirangan terdengar di sana-sini. Aku membenahi buku-bukuku kedalam tas. Jimy sudah melakukan hal itu lebih dulu dan sudah bersiap pulang.
“Auzril,” katanya seraya berdiri. “Aku pulang duluan, yah. Seperti biasa, Ika sudah menungguku di luar.” “Oh, baiklah. Sampaikan salamku untuk Ika.” “Siap, Komandan!.” Sebelum melangkah keluar kelas, Aku melihat Jimy pun berpamitan pulang pada Naisa dan Naisa membalasnya dengan hangat.
Baru saja Aku hendak berdiri dari bangkuku, tiba-tiba terdengar dering SMS dari handphoneku. Kulihat nama yang terpampang di layar, di sana bertuliskan From: Arman. Aku buka dan kubaca.

Jangan pulang tanpaku. Aku yang bayar ongkos angkotnya nanti.

Dari isi SMS-nya, sepertinya kelas Arman masih belum selesai belajar.

Oke, Aku tunggu di depan kelasku.

Ku kirim SMS jawabanku. Aku langsung melenggang ke luar kelas. Tapi, saat hendak melangkah, kakiku mendadak berhenti saat mendengar suara Naisa. “Pulang?” Aku menengok ke arahnya. Tubuhnya yang langsing dan sedikit pendek dariku berdiri di sampingku.
Aku menatap mata bulat dan wajah tirusnya. Mencoba mengira kalau pertanyaan tadi hanya basa-basi.
“Yah,” Kataku. “Mau pulang bersama?” Aku berbasa-basi. Ingat, kami tinggal dalam komplek perumahan yang sama, jadi apa salahnya mengajaknya walau hanya basa-basi.
“Trims,” katanya seraya menaikan tasnya lebih dalam. “Tapi, Aku ada janji dengan teman-temanku.”
“Oh. Baiklah, Aku duluan.” Kulihat Dia tersenyum dan mengangguk.
Well, Aku tahu siapa yang di maksud teman-temannya. Mereka pasti teman satu geng Naisa. Tak mau memikirkan tentang orang-orang itu, Aku lalu melenggang ke luar kelas. Alih-alih menunggu Arman, Aku malah duduk-duduk di depan kelas seraya mendengarkan musik lewat handphoneku.
Konsentrasiku buyar ketika mendengar suara perempuan-perempuan yang luar biasa berisiknya. Aku tahu, koridor sekolah pasti ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang, tapi orang-orang itu bisa membuat kegaduhan lebih hebat dari siapapun. Kutengokan kepalaku ke sumber suara itu dan tepat sekali dugaanku, itu teman satu geng Naisa.
6 orang—atau lebih tepatnya 5 orang kalau kau mau menghitung orang yang tambun itu 1. 4 perempuan, 3 di antaranya kurus, sisanya perempuan gemuk seperti tante-tante dan 1 lelaki tambun yang kelakuannya seperti perempuan. Orang-orang itu berjalan mendekat ke arah masih dengan obrolan mereka yang heboh dan terkesan kekota-kotaan walau terdengar “maksa”. Aku tahu, mereka pasti menjemput Naisa, tak ku sangka Naisa bisa berteman dengan orang-orang seperti mereka sekian lama.
Aku mencoba tak mengacuhkannya dan mengembalikan konstrasiku pada musik. Tak lama keriuhan dari orang-orang itu terdengar lagi, menembus headset yang Aku kenakan. Ku lihat lelaki tambun itu asyik berbicara di hadapan teman-temannya dan Naisa sambil berjalan mundur. Di arah yang berlawan aku lihat adik kelas perempuan kesulitan membawa beberapa buku tebal. Dalam hitungan detik mereka bertabrakan, perempuan yang membawa buku itu terjatuh bersamaan dengan buku-bukunya.
Lelaki tambun itu berbalik dan menatap perempuan yang terjatuh. “Kalau jalan lihat-lihat, dong!” bentaknya pada perempuan itu.
“Maaf, kak.” Jawab perempuan itu lemah seraya mengumpulkan buku-bukunya.
Seketika itu juga reflekku muncul, aku berdiri dan menghampiri perempuan itu dan membantunya merapikan buku-bukunya. Setelah itu aku bantu perempuan itu berdiri. Kulepaskan headset-ku, dan menyuruh anak perempuan itu kembali berjalan.
            “Terima Kasih, Kak.” Kata anak perempuan itu tanpa memandangku. Lalu anak perempuan itu hilang di balik teman-teman Naisa.
“Kau yang harusnya lihat-lihat kalau jalan.” Kataku dingin.
Ekspresi lelaki tambun itu menjadi marah. Naisa hanya tertunduk melihatku mengatakan itu.
“Apa masalahmu?” lelaki tambun itu menantang.
“Tidak ada,” kataku santai. “tapi, seharusnya kau tahu jalan ini bukan milikmu.”
Di balik orang-orang di hadapanku, kulihat Arman keluar dari kelasnya dan berjalan mendekat ke arah kami. Aku tahu, lelaki tambun dan teman-temannya menyumpah serapahiku, tapi aku tak memperdulikannya. Aku melenggang ke arah Arman.
“Ada apa?” tanyanya ketika aku menghampirinya.
“Tidak ada,” jawabku datar. “Kau tahu, kan, apa jadinya kalau ada mereka?” kataku seraya menatap teman-teman satu geng Naisa.
Arman hanya mengangguk. “Sudahlah, jangan di perpanjang,” Katanya. Aku mengangguk. “Ayo pulang.” Aku mengekor dibelakang Arman.
Saat melewati orang-orang itu lagi, ku dengar lelaki tambun itu bicara. “Jangan bersikap sok jagoan.”
Anjing menggonggong kafilah berlalu.

***
           
Aku tiba di komplek perumahan sedikit lebih sore. Sebelum pulang, Aku dan Arman nongkrong-nongkrong sejenak bersama teman-teman satu band-ku di sebuah café sederhana di tempatku.
Saat melewati rumah Naisa, entah kenapa jantungku jadi berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Alih-alih menghilangkan perasaan aneh itu, aku mencoba bercermin pada jendela rumah Naisa yang berkaca bening. Aku sedikit membereskan rambutku yang berantakan karena angin saat naik motor tadi.
Gerakanku terhenti ketika melihat samar sesosok perempuan yang masih mengenakan seragam SMA di balik kaca jendela. Aku tahu betul siapa yang berada di sana. Kulihat perempuan itu seperti menahan tawa, membuat lesung yang kecil di kedua pipinya saat melihatku susah payah merapikan rambut ikalku. Aku masih terpaku di sana, permandangan se-dramatik itu tak pernah kulihat sebelumnya; Sosok Naisa yang samar-samar terlihat sedang memandangku, ditimpah sedikit cahaya matahari yang menembus jendela itu. Melihat hal itu, entah kenapa seolah-olah aku tak ingin waktu cepat berlalu.
Aku hampir tidak tahu harus berbuat apa. Yang aku lakukan hanya membalas senyum itu, walau terkesan kaku dan kaget. Untuk sesaat aku kembali menatap mata bulatnya yang samar terlihat di balik kaca, lalu aku melenggang pergi menuju rumahku.
Hari ini semuanya semakin jelas terlihat. Dari cara Naisa menyapaku tadi pagi, sedikit berbasa-basi sesaat setelah sekolah, dan menatapku dan tersenyum padaku dari balik jendelanya. Mungkin mulai hari ini Naisa benar-benar mulai berubah, kembali menerima keberadaanku secara utuh dan kembali berniat menjalin hubungan persahabatan yang dulu sempat berakhir—aku harap begitu.

TIGA

Seperti Biasa, sebelum berangkat sekolah aku sarapan bersama dengan orang tuaku. Namun, tak banyak yang kami bicarakan saat sarapan, biasanya aku akan lebih fokus pada makananku. Setelah sarapan aku langsung pamit dengan orang tuaku dan berangkat sekolah. Setelah itu kedua orang tuaku menyusul untuk pergi bekerja. Bisa kalian bayangkan bagaimana “datarnya” suasana dalam rumahku.

***

Hari itu aku merasa sangat bosan. Aku malas melakukan apapun di sekolah, jangankan untuk berpikir saat belajar, untuk bercanda dengan Jimy pun aku malas melakukannya. Ditambah, langit musim kemarau diselimuti awan hitam sedari pagi membuat mood-ku semakin jelek.
Di kantin sekolah saat jam istirahat, aku hanya memutar-mutar sedotan dari gelas minumanku, Jimy biasanya menemaniku saat istrahat seperti ini, tapi entah ke mana sekarang. Pikiranku bercabang entah kemana. Sampai kusadari, ujung mataku menangkap sosok yang berjalan menuju perpustakaan. Letak perpustakaan yang letaknya tidak jauh dari kantin memudahkanku untuk melihat lebih jelas siapa orang yang berjalan itu.
Naisa, tidak biasanya dia pergi ke perpustakaan, namun setelah beberapa detik akhirnya aku tahu Naisa tidak benar-benar pergi ke perpustakaan, melainkan pergi ke lahan kosong yang luas di belakang perpustakaan. Aku sendiri belum pernah ke sana sebelumnya.
Entah kenapa, pikiranku malah memaksaku untuk pergi ke sana. Bukan karena ingin bertemu Naisa, melainkan untuk membunuh kebosananku hari itu, siapa tahu ada suatu hal yang menarik untuk dilihat di sana.
Setelah membayar minuman kepada penjaga kantin aku langsung melenggangkan tubuhku ke sana. Ternyata, keadaanya jauh dari yang aku bayangkan. Di sana ada pagar yang sudah diselimuti tanaman-tanaman merambat dan ada sebuah pintu yang besi-besinya sudah berkarat dan keadaannya sudah terbuka—suasananya terasa angker.
Mungkin Naisa berada di dalam dan aku melanjutkan langkahku ke dalam sana.
Ternyata keadaan di balik pagar ini sangatlah berbeda dari yang ada di depan. Di sana ada sebuah pohon besar dan rindang yang dibawahnya terdapat kursi rendah yang terbuat dari kayu. Rumput-rumput pendek melapisi tanah di bawahnya dan lahan berumput itu di kelilingi ilalang-ilalang yang besar dan mulai bermekaran.
Langkahku terhenti saat melihat Naisa yang sedang memainkan ilalang. Permandangan itu semakin terlihat dramatis di mataku, sosok Naisa menjadi siluet dari terpaan sinar matahari yang redup diselimuti awan hitam.
Kemudian siluet itu mulai mencabuti bulu-bulu ilalang yang dipegangnya lalu meniupnya hingga terbawa angin. Untuk sesaat aku lupa cara untuk bernapas ketika melihat Naisa seperi itu. Aku tidak pernah melihat Naisa melakukan hal senatural itu. Dari caranya melakukan itu, sepertinya Naisa sudah sering datang ke tempat ini. Aku tidak pernah menyangka kalau orang seperti Naisa memiliki tempat seperti ini untuknya menyendiri.
“Auzril?” tanya Naisa lembut meruntuhkan lamunanku, “Sedang apa kau di sini?” mungkin Naisa terkejut kenapa aku bisa sampai ada di sini, lalu ia berdiri menghadap padaku.
“Aku bosan, jadi aku berjalan-jalan di sekitar sini dan aku sampai di sini.” Kataku sedikit berbohong. Lalu Aku berjalan dan mendaratkan bokongku di atas kursi rendah itu.
Sinar matahari mulai menembus awan-awan hitam yang mulai menghilang. Ternyata hari ini tidak jadi hujan. Naisa mamatung di hadapanku, air mukanya heran. Wajar saja, mungkin tidak ada orang lain yang pernah ke sini kecuali dia sendiri.
“Duduklah.” Kataku seraya menepuk-nepuk bagian yang kosong dari kursi itu, aku mencoba untuk lebih akrab dengannya sekarang. Naisa masih berdiri di tempatnya. Lalu ia duduk di sampingku walau jaraknya berjauhan denganku. Cuaca hari ini semakin cerah bersamaan dengan mood-ku yang kembali ceria.
“Aku tahu kau berbohong,” Naisa menatapku. Tatapannya benar-benar menusuk perasaanku. “Kau masih tidak berubah, kau terlalu amatir untuk berbohong.” Mendengar itu, aku merasa Naisa masih mengenalku dengan baik. 12 tahun kebersamaan kami sepertinya tidak bisa membuat kami melupakan kepribadian kami masing-masing.
Aku menghela napas sejenak sebelum menjawab perkataan Naisa. “Baiklah, aku menyerah, aku memang berbohong,” mata kami lalu bertemu. “Jujur saja, tadi saat di kantin aku melihatmu berjalan ke tempat ini, tapi aku ke sini bukan karena aku mengikutimu.”
Naisa terdiam sejenak, seakan mengolah setiap kata-kataku apakah aku berbohong atau tidak. “Kau masih menjadi lelaki yang jujur, Auzril. Aku percaya apapun alasan yang bisa membuatmu datang ke sini.” Perkataan Naisa semakin memperjelas kalau dia masih mengenaliku. dengan baik. Itu suatu hal yang tidak aku duga sebelumnya.
Untuk beberapa saat tak ada kata yang kami ucapkan, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut tempat ini dan mataku terhenti pada permandangan Gunung Salak yang agung berdiri kokoh diterpa sinar matahari. Sawah-sawah yang berada di balik ilalang-ilalang membuat permandangan itu semakin indah. Mungkin ini salah satu alasan Naisa memilih tempat ini sebagai tempat menyendirinya.
“Oh, iya,” kataku menghancurkan dinding kesunyian sesaat di antara kami. “Tidak biasanya kau seperti ini, kau tahu kan maksudku, Malah menyendiri di tempat seindah ini, tidak berkumpul dengan teman satu gengmu.”
Alih-alih menjawabku, Naisa malah mengeluarkan BlackBerry-nya. “Boleh aku minta nomer ponselmu?” tanpa berpikir panjang aku memberinya nomer ponselku agar Naisa cepat-cepat memberitahuku alasannya kenapa menyendiri seperti ini.
“Akan kuceritakan nanti,” jawaban yang Naisa berikan cukup mengecewakan. Lalu dia menunjukan layar BlackBerry-nya padaku. “Sepertinya kita harus kembali ke kelas, jam istirahat hampir habis. Kita tentu tidak ingin kena “semprot” Pak Arif—guru Matematika kami—kan?”
Apa yang dikatakan Naisa ada benarnya juga, mungkin menyelamatkan diri dari raungan Pak Arif lebih penting daripada sebuah alasan kenapa Naisa bisa menemukan tempat seperti ini untuknya menyendiri.
“Benar juga. Ayo.” Tanpa sadar aku memegang tangan Naisa dan membantunya berdiri dari kursi—itu mungkin sedikit hal dari yang namanya naluri lelaki. Naisa tidak merespon apapun dari yang aku lakukan, lalu kami berdua berjalan keluar dari tempat indah itu bersama-sama.
Ternyata Pak Arif tidak bisa mengajar hari ini karena ada rapat komite dan keadaan itu diperjelas dengan pemandangan teman-temanku yang nongkrong di depan kelas yang payungi pohon mangga yang ridang. Agar tidak menimbulkan kecurigaan—asal kalian tahu, kebanyakan teman perempuan di kelasku itu tukang gosip—aku menyuruh Naisa untuk masuk ke dalam kelas terlebih dulu, kemudian aku menyusul.
Setelah Naisa masuk kelas, aku lalu bergabung dengan teman-temanku yang sedang asik mengobrol di bawah pohon mangga. Di sana ada Jimy, Nurul, Restu dan beberapa temanku yang lainnya.
“Kau dari mana saja, Auzril?” kata Jimy di barengi tatapan 2 pasang mata teman-temanku yang lain.
“Kau yang ke mana saat istirahat tadi?” aku balik bertanya.
“Maaf, teman. Pacarku memintaku untuk memabantu mengerjakan PR Akuntansinya.” Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Terus kalian berdua ke mana tadi saat istirahat?” aku bertanya pada Nurul dan Restu.
 “Aku tadi rapat Paskibra.” Jawab Nurul.
“Aku tidak kemana-mana, aku dikelas seharian.” Kata restu. Aku menggangguk. “Ya, sudah. Aku mau masuk ke kelas dulu.”
Saat aku hendak masuk ke dalam kelas, Nurul cepat-cepat memanggilku. Aku berbalik dan menatap Nurul—ngomong-ngomong, orang tua mana yang tega memberikan nama anak laki-lakinya Nurul yang biasa dijadikan nama perempuan. Nurul berdiri dan menghampiriku.
“Aku lupa, tadi ada yang menitipkan salam padamu.” Katanya setengah berbisik.
“Hah?!” aku terkejut. Yah, karena jarang sekali ada yang menitipkan salam untukku, lagi pula aku bukan orang popular di sekolah.
 “Siapa?” tanyaku heran.
“Adik kelas kita, anak perempuan kelas XI, anggota Paskibra. Namanya Adilah.” Aku semakin heran dan terkejut, karena yang menitipkan salam untukku adalah seorang perempuan. Asal kalian tahu saja, aku bukan orang populer di sekolah.
“Ya sudah, kau bilang saja, aku terima salamnya.” Aku menjawab sekenaku walaupun Aku tak tahu siapa itu Adilah. Aku menepuk pundak Nurul lalu melenggang ke dalam kelas.

***

Itu adalah saat-saat yang cukup menyenangkan bagiku. Salah satu hal yang membuatku senang adalah sekarang aku bisa berbicara dengan Naisa tanpa tekanan seperti yang aku rasakan satu tahun sebelumnya dan sepertinya kami akan banyak berbicara di tempat itu, di belakang perpustakaan.
Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama ketika aku sampai di rumah. Ayahku sedang memainkan motornya, entah apa yang dia lakukan dengan motornya itu. Tapi itu menganggu dan berisik, karena ayahku memainkan gas motornya berulang kali. Membuatku mengurungkan niat untuk memberi salam kepadanya.
Ternyata ibu belum pulang. Itu berarti aku harus menahan rasa laparku sejenak sampai Ibu datang dan memasak makanan makan siang. Karena sudah masuk Jamnya, daripada aku semakin ‘panas’ aku langsung pergi mengambil Wudhu dan Sholat dzuhur.
Aku berbaring di atas kasur seraya memainkan handphoneku, suara motor ayahku sudah tidak terdengar ditambah setelah sholat, keadaanku jadi sedikit tenang.
Tak lama, kudengar ucapan salam dari ruang tamu. Aku tahu siapa yang datang itu, jadi aku langsung melenggang ke ruang tamu. “Sudah makan siang belum, nak?” tanya ibuku setelah aku menyalami tangannya yang mulai kendur kulitnya.
“Belum.” Jawabku semangat, karena aku tahu ibu pasti membawa makanan.
“Ini, Bakso kesukaanmu. Cepat makan sana, ibu mau ke kamar mandi dulu.”
Aku langsung menyambar bungkus Bakso itu dan membawanya ke dapur. Ada dua bungkus Bakso yang ibu beli, sepertinya satu bungkus yang lainnya itu untuk Ayah. Tapi, siapa peduli, jadi aku membiarkan bakso itu tetap terbungkus plastik.
Setelah makan, aku kembali ke dalam kamarku dan mengambil Ponselku. Ternyata ada pesan yang masuk dan aku buka pesan itu;

Auzril, ini aku, Naisa. Soal yang tadi, bagaimana kalau kita bicarakan besok pada jam istirahat? Ditempat yang kemarin. Bagaimana?

Saat membaca pesan itu, entah kenapa aku merasa, aku ingin dunia cepatlah berputar dan berharap hari esok cepat datang. Aku langsung membalas Pesan itu;

Oke, boleh saja. Sepertinya kau harus berhati-hati, karena sepertinya aku juga menyukai tempat itu.! :D

Kukirim pesan itu dengan perasaan campur aduk dalam hatiku. Tak lama berselang, Ponselku kembali berdering. Aku buka balasan dari Naisa.

Sepertinya aku harus menyiapkan surat pajak tempat :D  oke, sampai bertemu besok.

Aku tidak berniat membalasnya. Sekarang jam-nya orang-orang untuk istirahat siang, mungkin Naisa sedang mencoba istirahat sekarang, begitu juga denganku, hingga pada akhirnya rasa kantuk menyerangku. Oke, sampai bertemu besok juga, Naisa. Kataku dalam hati sesaat sebelum kesadaran hilang terbawa ke alam tidur.

***

Keesokan harinya, dengan segenap ketidak sabaranku, akhirnya Naisa memintaku menemaninya setelah pulang sekolah di sana. Setelah bertemu dengan Arman dan menjelaskan kalau aku tidak akan pulang dengannya, aku langsung pergi menuju tempat itu.
Langit yang cerah seakan tahu isi hatiku yang ceria. Sesampainya di sana, aku melihat Naisa sedang mengelus-ngelus bulu ilalang yang dipegangnya. Tanpa bermaksud mengagetkannya, aku langsung menyapanya dan duduk di sampingnya.
“Hai, sudah lama menunggu?” kataku seraya tersenyum padanya.
“Hai, tidak juga.” Dia sedikit menggeserkan tubuhnya agar aku mendapat ruang yang cukup untuk duduk.
“Jadi,” kataku memulai pembicaraan. “hal apa yang akan kau bicarakan sekarang?”
“Oh, iya. Aku lupa.” Ia membetulkan posisi duduknya dan kembali berbicara. “Kenapa aku sampai bisa berada di sini berawal satu minggu yang lalu. Aku mulai merasa jenuh bergabung dengan teman-teman satu geng-ku,” Aku menyimak tiap kata yang dia ucapkan. Kemudian dia melanjutkan. “Aku berjalan-jalan di sekitar sekolah untuk menghindari mereka dan tidak sengaja aku menemukan tempat ini.”
Aku tahu, Naisa tidak berbohong tentang masalah ini. Sepertinya sudah lama sekali dia ingin menceritakan masalah ini.
“Tapi, bagaimana mungkin. Maksudku, apa yang membuatmu jenuh bergabung dengan teman-temanmu itu?” tanyaku seraya memandang wajah Naisa yang terkesan murung.
“Kau pun tahu alasannya, Auzril.”
Mungkin yang dikatakan Naisa adalah kenyataan bahwa teman-temannya memang tidak baik. Kehidupan mereka terkesan hedonis dan materialistis. Wajar saja, Naisa sudah lama hidup dengan gaya yang sederhana, walau kenyataannya Naisa adalah anak orang kaya. Mungkin lifestyle yang teman-temannya tularkan sulit untuk Naisa terima.
“Di sisi lain, aku tidak punya teman lagi selain mereka, aku tidak mungkin meninggalkan mereka. Entahlah, aku merasa galau akhir-akhir ini.”
Kata-kata itu semakin lemah terdengar dan terdengar menyakitkan di telingaku. Jadi, aku, Jimy dan teman-teman lain dianggap apa olehnya selama ini?
“Kau kejam,” kataku, air wajah Naisa berubah kaget. “Jadi, selama ini kau menganggap aku, Jimy dan teman-teman lain siapa?”
dia tidak mengucapkan apapun. Seketika itu suasana menjadi dingin.  
Tak lama kemudia dia menatapku dan berkata.
“Maafkan aku.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Aku telah merusak hubungan persahabatan kita. Aku  tak mengacuhkanmu, aku meninggalkanmu dan memilih teman yang salah.”
“Tidak perlu minta maaf.” Kataku lalu menggeser dudukku agar lebih dekat dengannya.
“Aku merasa kejam,” lalu dia mengedarkan pandangannya ke arah Gunung Salak yang agung. “Kau pasti marah padaku.”
Untuk sesaat aku tidak bisa menjawab perkataan itu, tapi kemudian aku menjawabnya.
“Kau benar, aku memang marah dan benci padamu saat itu,” mata kami kemudian bertemu.  “Tapi asal kau tahu, sekeras apapun aku mencoba melakukannya, membencimu adalah hal yag sulit aku lakukan.”
Ketika ucapanku berakhir, angin bertiup sepoi memeluk kami berdua. Membuat rambut sebahu Naisa berterbangan. Aku tahu, Naisa pasti kaget mendangar kata-kataku itu, karena aku juga merasa Gombal saat mengatakan itu. Sejenak dia menatapku, dan tatapan yang tulus seperti ini yang melemahkanku saat berhadapan dengannya.
“Terima kasih, Auzril.” Katanya memecah keheningan. Dia lalu mengelus punggung telapak tanganku.
“Sama-sama, sudahlah. Jangan diperpanjang. Aku tidak suka suasana serius seperti ini.” Aku tertawa seraya menggenggam tangan Naisa. Naisa pun ikut tertawa.
Saat menyenangkan seperti ini, entah kenapa waktu terasa cepat berputar. Banyak hal yang kami bicarakan hingga kami tidak sadar kalau matahari sudah bersembunyi di balik gunung. Lembayung mulai merenda di langit. Dan akhirnya aku sadar, hari ini tak lama lagi akan berakhir.
            Sayang sekali.

fahrul rozi. 17 Oktober 2012
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :

Posting Komentar