PROLOG
Aku tahu Dia telah menjadi bagian terpenting dalam
hidupku. Sejauh ingatanku, Aku tidak pernah jatuh cinta sampai segila ini pada
seseorang, kecuali padanya.
Banyak orang di sekitarku yang
bertanya-tanya, bagaimana orang sepertiku bisa jatuh cinta kepadanya. Entahlah,
Aku pun tidak tahu kenapa. Mungkin Aku adalah salah satu dari segelintir orang
yang tidak memerlukan alasan untuk mencintai seseorang, karena cinta yang
tumbuh dalam hati akan tumbuh begitu saja.
Hampir lima tahun berlalu
semenjak Aku pergi dari masa itu. Masa SMA. Pasti di antara kalian ada yang
tahu bagaimana indahnya masa SMA itu, Begitu juga denganku.
Aku berdiri di depan pintu
perpustakaan sekolah tempat Aku bekerja, memandangi langit sore yang indah dan
cerah ini. Sore ini sama persis dengan sore ketika Aku melihatnya di belakang
sekolah ini lima tahun lalu, ketika kami SMA.
Hingga Aku sebesar ini, Aku masih
tetap ingat dengan apa yang terjadi
saat itu, bahkan secara mendetail. Bahkan sampai hari ini Aku masih melakukan
hal yang sering Aku lakukan ketika bersamanya.
Kupejamkan mataku, kuhela udara
di sekitarku dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan dan Aku membuka mataku.
Lalu Kulenggangkan tubuhku menuju
padang ilalang di belakang sekolah ini.
Aku duduk di antara
ilalang-ilalang yang sedang tumbuh, memandangi langit jingga emas dan sawah
yang membentang luas di hadapanku.
Aku akan selalu berada di sini
setiap kali Aku merindukannya. Karena hanya di tempat ini Aku bisa merasakan
keberadaannya. Di antara ilalang-ilalang itu.
Saat melihat ilalang-ilalang itu
entah kenapa Aku merasakan hal aneh dalam hatiku, itu seperti rasa senang dan
sedih datang bersamaan dan ketika itu juga kenangan-kenangan akan hari itu
bermunculan dalam ingatanku.
Aku memandangi ilalang-ilalang
itu dengan segala kenangan yang sedang berkecamuk dalam kepalaku.
Ilalang akan selalu terlihat
indah di mataku sekarang, bahkan lebih indah dari sekuntum mawar sekalipun.
Karena saat Aku melihat ilalang, Aku akan selalu teringat wajah cantik
seseorang, Si Gadis Ilalang. Naisa Tasra, yang Aku cintai.
SATU
Bogor, 2008
Namaku Auzril Rohf,
umurku 17 tahun saat itu. Aku tinggal dan dibesarkan di daerah barat kota
Bogor. Tak ada kota yang lebih indah dari kota ini, penduduknya begitu ramah,
bagaimana perpaduan antara permandangan kota dengan pedesaan terlihat sangat
indah: sawah-sawah yang bertemu dengan komplek perumahan mewah akan menjadi
permandangan indah tersendiri bagi yang melihatnya.
Hanya ada satu pasar tradisional di sini dan salah satu yang terbesar
se-Bogor barat, tak heran jika kebanyakan penduduk di sini bermata pencaharian
sebagai pedagang.
Pergantian musim akan terjadi antara bulan Juli atau Agustus, dan pada saat
itu angin akan berhembus kencang, anak-anak akan terlihat berlarian sepanjang
sore dengan kaki telanjang, bermain layang-layang atau sekedar kejaran-kejaran.
Remaja-remaja biasanya hanya akan sekedar nongkrong di tepian jalan setelah
pulang sekolah.
Suasana keagamaan di sini masih terasa kental, sebagai kota kecil yang
mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam, di kota ini akan terlihat
banyak sekali Mesjid, walau yang paling terkenal hanya ada dua; Mesjid
Al-Awalien dan At-Taqwa.
Sepanjang tahun hujan akan turun lebih sering turun di kota ini, walau
puncaknya akan terjadi pada musim hujan antara Agustus Akhir hingga Maret. Dan
biasanya akan terjadi banjir di beberapa daerah—terutama di Jakarta—jika Bogor
dituruni hujan deras sepanjang hari.
Walau bukan kota metropolitan, tapi Bogor punya daya tariknya sendiri.
Banyak landmark yang bisa kalian
kunjungi, di antaranya Tugu Kujang, Istana Bogor, Kebun Raya, dan yang terbesar
adalah Taman Safari Indonesia. Dan di Bogor barat kalian bisa mengunjungi banyak
tempat wisata alam, seperti mengunjungi Air terjun atau mendaki Gunung Salak.
Aku lahir dan di besarkan di sini, pada saat aku masih kecil ayahku
mengajakku ke tempat-tempat itu walau hanya sekali seumur hidupku.
Ngomong-ngomong soal ayah, aku memang tinggal dan hidup sederhana bersama
kedua orang tuaku dan satu kakakku. Hidup kami berkecukupan karena orang tuaku
bekerja. Ayahku, Faisal Rohf bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di kantor
Pemerintahan Kota Bogor. Ibuku, Nina Rohf bekerja sebagai Guru bertitel Pegawai
Negeri Sipil.
Titel semacam itu sudah seperti kalimat sihir bagi banyak orang. Mereka
yang ingin mendapatkannya bisa merelakan apapun demi mendapat title itu dan
orang tua sudah mendapatkannya jauh sebelum mereka menikah. Mereka mendapatkan
gelar itu dengan sangat mudah, tidak sesulit sekarang.
Kakakku, Fauzi Rohf sudah bekerja sebagai nahkoda dan sudah memiliki istri
dan anak. Hanya beberapa kali pulang dalam setahun, itu pun pulang kerumah
mertuanya. Kami jarang bertemu.
Walau hanya seorang pegawai negeri kantoran, tapi bisa dibilang ayahku
adalah orang yang populer, banyak yang orang mengenalnya, mungkin karena selain
menjadi pegawai negeri, ayahku juga merangkap sebagai sekretaris Palang Merah
Indonesia Bogor, menjadi pengurus KONI wilayah Bogor dan mantan atlit sepak
bola yang pernah mewakili Jawa Barat di Pekan Olah Raga Nasional puluhan tahun
lalu.
Di mata orang-orang, ayahku adalah orang baik, tegas dan bertanggung jawab.
Entah orang-orang itu yang salah atau aku yang tidak pernah merasakan hal
semacam itu pada diri ayahku. Bagaimanapun aku anaknya, aku lebih tahu siapa
ayahku. Ayahku memang baik, tapi dia bukan orang yang bertanggung jawab,
maksduku dalam hal mendidik anak.
Dari SD sampai aku SMA aku jarang sekali menerima perhatian dari ayah. Dia
tak pernah menanyakan bagaimana hari-hariku di sekolah, apa yang terjadi selama
sekolah, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan, satu kalipun dia belum
pernah menyempatkan dirinya untuk menghadiri acara pengambilan raportku, Ibu
yang selalu menggantikannya. Aku bahkan berani bertaruh kalau ayahku tidak tahu
makanan kesukaanku dan hobiku.
Hubunganku dengan orang tuaku benar-benar hubungan antara anak dan orang
tua. Tidak menganggap orang tua sebagai sahabat apa lagi teman curhat, terlebih
hubunganku dengan ayah. Di tambah kesibukannya yang padat membuat kami jarang
bertemu dan malah membuat jurang di antara kami semakin lebar.
***
Pada bulan Juli pada tahun itu adalah bulan pertamaku masuk sekolah di
tahun ajaran baru. Aku baru saja naik ke Kelas XII dan mendapat kelas terbaik
di jurusan IPS, yaitu kelas XII – I dan itu berarti Aku harus kembali
beradaptasi dengan kelas baru beserta orang-orang baru di dalamnya.
Hanya ada beberapa orang teman sekelasku semasa kelas XI yang sekelas
denganku di XII - I sekarang, salah satunya adalah Jimy. Seorang vegetarian
berkulit putih dengan mata coklat dan berpenampilan menarik. Meski usianya 17
tahun, tapi bulu-bulu di wajah dan tubuhnya tumbuh lebih banyak dari orang yang
seumuran dengannya.
Aku sempat berpikir
kalau Jimy adalah keturunan salah satu makhluk yang ada dalam teori Darwin. Well, Dari mana pun Dia berasal, Dia
tetap teman terbaikku hingga saat ini.
Selain Jimy, ada orang lain yang Aku kenal di kelas ini. Dulu, orang itu
adalah sahabat terbaikku, Naisa Tasra. Dan tentang Naisa akan kuceritakan
nanti.
Hari pertama sekolah biasanya akan diisi dengan perkenalan Wali Kelas baru
dan pembentukan organisasi kelas dan semua itu tidak akan pernah selesai dengan
cepat. Tak ada hal berarti yang Aku lakukan saat itu, Aku hanya sedikit
mengobrol dengan Jimy sekedar mengenang saat kami kelas XI dan terkadang Aku
mencuri-curi pandang ke arah Naisa yang duduk di samping mejaku. Beberapa kali
mata kami bertemu dan seketika itu juga kami langsung melempar pandangan ke
arah lain.
Sebenarnya antara Aku dan Naisa pernah mempunyai hubungan yang begitu
dekat, hanya saja satu tahun lalu saat kami kelas XI hubungan pertamanan kami
harus berakhir. Saat itu Dia sudah mulai terbiasa dengan lingkungan sekolah ini
dan pada saat itu Dia sudah mendapat banyak teman yang di antaranya membentuk
sebuah geng dan Naisa masuk ke dalam geng itu. Permasalahannya muncul ketika
Naisa tak pernah lagi menemuiku. Kalaupun kami bertemu, pasti Dia sedang
bersama satu gengnya itu dan Naisa tidak akan menyapaku walau kami berpapasan.
Semenjak saat itulah Aku memilih untuk menjauh darinya dan memutuskan untuk
menganggap kalau kami tidak pernah kenal.
Aku pernah untuk mencoba berbicara dengan Naisa mengenai hal itu, dan
kalian tahu apa tanggapan dari Naisa? Tidak ada. Dia tidak mengacuhkanku dan
malah menjauhi. Oke, pokoknya mulai dari sana Aku dan Naisa tidak pernah
bertemu dan berkomunikasi dan itu berlangsung selama satu tahun lebih, sampai
akhirnya kami kembali bertemu di kelas yang sama.
Bel tanda sekolah selesai berdering memenuhi ruangan kelas, hasil dari
pemilihan organisasi kelas adalah Jimy terlpilih menjadi ketua kelas. Aku sih
tidak heran kalau Jimy menjadi ketua kelas, secara saat Dia kelas XI Dia pernah
menjabat menjadi wakil ketua kelas dan kinerjanya sangat baik.
“Kau mau langsung pulang, Zril?” tanya Jimy saat Aku membenahi buku-buku
kedalam tasku.
“Entahlah, sepertinya Aku akan pergi ke ruang band dulu.” Timpalku.
“Ada latihan?” Jimy bertanya lagi.
“Tidak, hanya sekedar mengecek alat
band, sudah hampir satu bulan alat-alat band tidak di urus.” Kataku lalu
menggendongkan tas ke punggungku.
“Oh, ya sudah, kalau begitu Aku pulang duluan, teman. pacarku sudah
menungguku di luar.”
Aku hanya tertawa kecil. “Selalu saja seperti itu. oke, hati-hati.” Lalu
kami berpisah di luar kelas.
Aku menatap layar handphone-ku, jarum jamnya menunjukan pukul 11.33. Masih
terlalu pagi untuk pulang. Kulenggangkan tubuhku menuju ruang band sekolahku.
Ruang band terletak di sebelah koperasi yang berada di seberang kelasku yang
dipisahkan oleh lapangan aspal dan
berbatu.
Saat Aku melewati koperasi, Aku melihat Naisa beserta gengnya sedang heboh
mengobrol seraya menyantap snack yang
dijual di Koperasi. Aku dan Naisa sempat bertatapan beberapa detik, sebagai
orang yang tidak Dianggap teman yang kulakukan adalah kembali berjalan dan
mencoba tidak memperdulikannya.
Di ruang band ternyata sudah ada Arman yang sedang fingering (Istilah melatih percepatan jari pada permainan gitar). Arman terlalu asik dengan gitarnya
sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku yang sudah duduk di belakang drum.
Kuhentakan kakiku pada pedal bass drum dan kupukul simbal secara bersamaan
sehingga menimbulkan kombinasi suara yang cukup untuk membuat jantung seseorang
copot dari tempatnya.
Arman meloncat dari tempat duduknya ketika Aku melakukan hal tersebut, Dia
latah dan apa yang Arman keluarkan dari mulutnya ketika latah adalah
“Auuu....auu...auu !” jujur saja, itu sangat menghibur.
“Sialan kau, Auzril !” serapahnya seraya menatapku dan mengusap-usap
dadanya seperti orang tua yang kehabisan napas.
Aku hanya tertawa mendengar itu. “Maaf, teman. Habis, Aku kehabisan akal
untuk membuatmu menyadari kehadiranku.”
Arman tertawa hambar. “Selamat!, kau berhasil melakukannya.” Aku berjalan mendekati
Arman dan duduk di atas karpet, Arman kembali ke tempat duduk plastik dekat
ampli dan sound system.
“Kau bisa menghiburku, teman?” tanyaku.
“Apa yang kau inginkan?” Arman balik bertanya seraya membetulkan
kabel-kabel yang berhubungan langsung dengan sound system.
“Iringi Aku bermain, sudah lama kita tidak jamming. Tangan dan kakiku hampir kaki hampir kaku, sebulan tidak
digunakan bermain drum.”
Aku berdiri dan mengambil stik drum dari dalam tasku dan berjalan kembali
ke belakang drum.
“Baiklah, dengan senang hati.” Arman memutar knob volume dan mulai memetik
dawai dengan efek berdistorsi.
“Okey, lets party, dude!”
***
Benar saja, sebulan tidak bermain drum membuat tangan dan kakiku kaku. Itu
terlihat ketika jamming tadi siang
bersama Arman. Aku banyak melakukan pukulan meleset, tapi tidak apa-apa,
mungkin setelah beberapa kali latihan, permainan drumku bisa kembali luwes dan
pas.
Pukul 14.19 Aku dan Arman pulang dari sekolah. Aku dan Arman tinggal dalam
komplek perumahan yang sama. Kami biasa menggunakan angkutan umum setiap
berangkat atau pulang sekolah. Di perjalanan pulang kami banyak berbincang
tentang hal yang sukai, yah, walau sebagian besar adalah tentang musik.
Karena ada keperluan dengan pacarnya yang berbeda sekolah, Arman lebih dulu
turun dari angkutan umum. Jadi, tinggal
Aku sendiri menapaki jalan pulang ke rumah. Jujur saja, saat itu Aku belum
punya pacar dan Aku tidak bangga dengan itu. Aku sudah beberapa kali pacaran
sejak kelas XI, tapi tidak pernah berlangsung lama, karena Aku selalu salah
memilih perempuan. Rata-rata perempuan yang Aku pacari tidak setia dan sedikit
‘nakal’, kau tahu kan apa maksudku?
Aku turun dari angkutan umum di depan mini market seberang komplek
perumahan tempatku tinggal. Bersamaan dengan turunnya Aku dari angkutan umum,
kulihat Naisa keluar mini market seraya menjijing satu kantong pelastik yang
entah apa isinya—oh iya, ngomong-ngomong Aku dan Naisa juga tinggal dalam
komplek perumahan yang sama, selama lebih 10 tahun. Seketika itu juga Aku
berjalan menjauhinya, yah minimal sampai tidak terlihat olehnya.
Kondisi jalanan sebenarnya sedang lengang, tak banyak kendaraan yang
berlalu lalang, hanya saja kendaraan-kendaraan yang lewat melaju dengan cepat.
Seperti biasa, sebelum menyeberang jalan, seseorang setidaknya akan melihat
kanan kiri jalan dan itulah yang Aku lakukan saat itu. Posisiku kira-kira
belasan meter dari Naisa. Aku menyeberang dan sampai di depan komplek
perumahan.
Entah kenapa saat itu Aku ingin sekali melihat Naisa, Aku memutar badanku
di depan gapura komplek dan melihat perempuan cantik; berambut panjang sebahu,
berkulit putih dan berwajah tirus, dihiasi sepasang mata hitam yang bulat dan
hidung yang sedikit pesek berdiri mengenakan seragam putih abu.
Aku mematung melihat sosok yang jauh berbeda dari Naisa yang pernah Aku
kenal sebelumnya, Dia saat itu terlihat sangat cantik dan modis. Aku masih
mematung dan perlahan Naisa mulai menyeberang jalan. Riuh orang yang berlalu
lalang di jalan itu seperti tak terdengar kala kulihat sosok Naisa semakin
besar dan mendekat kearahku. Tapi, sesuatu terjadi ketika Naisa hampir sampai
di seberang jalan.
Tiba-tiba saja, ada sepeda motor yang melaju cepat dari arah barat mendekat
menuju Naisa. Entah karena Naisa tidak mendengar atau bagaimana, Dia tidak
menyadari kalau ada motor melaju cepat mendekatinya. Aku tahu, harusnya Aku
tidak melakukan apa-apa, tapi intuisi kepriaanku muncul saat itu, Aku berlari
dengan cepat ke arah Naisa dan menarik tangannya sampai kami terjatuh tepat di
tepian jalan “AWAS!”, saat kami terjatuh, motor sialan itu lewat di hadapan
kami.
Dalam hitungan detik orang-orang sudah berkumpul mengerumuni kami, Aku baru
sadar kalau posisi jatuh kami sangat memalukan—Aku sih lebih merasa keenakan
saat itu. Naisa jatuh tepat di atas badanku. Kesadaranku muncul kembali dengan
cepat saat wajah kami yang sama-sama melotot saling memandang. Aku dan Naisa
langsung membangunkan diri dan membersihkan debu jalanan yang menempel pada
tubuh kami.
Saat itu Aku merasa Aku adalah orang yang paling kikuk di dunia.
Orang-orang yang mengerumuni kami menghujamkan pertanyaan-pertanyaan “kalian
tidak apa-apa?, ada yang terluka?” kami hanya menggelengkan kepala dan melempar
senyum yang dipaksa. Beberapa menit kemudian kerumunan itu menghilang. Aku
mengambil tasku yang tergeletak di atas tanah dan menggendeongkannya kembali di
punggungku.
Aku siap untuk kembali jalan ke rumah. setelah melihat keadaan Naisa yang
baik-baik saja Aku langsung melenggang pergi. Saat melewati rumah Naisa tiba-tiba
saja ada yang memanggil namaku, Aku berbalik dan melihat Naisa berlari
mendekatiku.
Tepat di depan pintu gerbang rumahnya yang besar Dia berbicara.
“Auzril,” Untuk pertama kalinya untuk satu tahun terakhir Dia menyebut namaku.
Aku hanya Diam melihat perempuan yang sedang sibuk mengatur napas itu.
“Terima Kasih,” Kata itu keluar dengan lembut dari mulutnya, “Entah apa
yang terjadi kalau tadi tidak ada dirimu,” Aku dibuat merasa tidak karuan
olehnya kali ini, “Sekali lagi, terima kasih.”
Kalian tahu apa reaksiku saat itu?
Tidak ada. Mulutku mendadak tidak bisa bicara saat menatap matanya. Tatapan
matanya terlihat tulus dan langsung menghujam sukmaku.
Saat Aku ingin bicara, perempuan itu sudah melenggang pergi masuk ke dalam
rumahnya. Entah apa yang terjadi padaku saat itu. Akhirnya Aku pulang dengan
membawa setumpuk perasaan aneh dalam hatiku.
DUA
Beberapa hari
setelah kejadian hari itu, hubunganku dengan Naisa jadi sedikit membaik—hanya
sedikit. Setidaknya Naisa mulai menerima keberadaanku kembali. Dia sudah bisa
menyapaku kembali di manapun kami bertemu, walau sejujurnya Aku masih merasa
enggan Dia bersikap seperti itu.
Ke esokan harinya, saat Aku tengah asik membaca buku sejarah, tiba-tiba
saja Naisa berdiri di sampingku, Aku mendongak kaget ke arahnya ketika ia
mengucapkan ‘Selamat pagi, Auzril’ seraya menaikan kedua ujungg bibirnya.
Alih-alih menjawab, Aku malah tersenyum kaget dan mengatakan ‘Ya’ sekenanya
saat melihat Naisa melakukan itu—hal yang sudah tidak pernah kuterima semenjak
satu tahun lalu. Naisa memindahkan tempat duduknya tepat di depan bangkuku.
Entah mengapa, seketika itu juga Aku merasa hal berbeda pada diri Naisa dan
pada diriku sendiri.
Aku menatap punggung Naisa yang tertutup rambut ikalnya yang menjuntai
lepas. Kejadian hari itu, di mana Naisa hampir tertabrak motor masih terbayang
dalam pikiranku dan Aku merasakan hal aneh di sana.
Kalian tahu, Naisa masih sangat muda dan Aku yakin dalam diusianya yang
masih 17 tahun itu kemampuan mendengar dan melihatnya pasti belum menurun.
Tapi, bagaimana mungkin, saat itu Dia sampai tidak sadar kalau ada sepeda motor
yang melaju cepat ke arahnya. Asumsiku, mungkin saat itu ada yang sedang
mengganggu pikirannya. Tapi, siapa yang tahu?
Tanpa sadar, Jimy tahu-tahu sudah duduk di sampingku. Dia terkekeh melihat
lamunanku yang seraya menatap punggung Naisa.
“Naisa,” Bisik Jimy. “Apa kau tahu sesuatu tentang dirinya, Auzril?” Aku
menatap Jimy tajam, mengira-ngira apa yang akan Dia bicarakan selanjutnya.
“Apa maksudmu ‘tentang sesuatu’? apa yang kau tahu?” Alih-alih menjawab,
Jimy malah membalas salam dan ucapan selamat pagi salah satu teman kami yang
baru tiba di kelas.
Sesaat kulihat Naisa juga menjawab
salam itu. “Hei, Jimy. Kau dengar Aku bertanya tadi?”
“Maaf, tidak sopan rasanya kalau tidak menjawab salam dari seseorang,”
timpalnya. “Oke, kembali ke topik. Kau tahu sesuatu tentang Dia?” Aku menggelengkan kepalaku. “Naisa adalah
salah satu mantan pacarku,” Bisiknya.
Cukup membuatku kaget, walau hanya sesaat. “Sewaktu Kami SMP, kami
berpacaran, hanya saja tidak berlangsung lama...hanya satu minggu.”
Aku hampir saja mengeluarkan tawa
terkerasku. Yah, jujur saja. Mendengar itu Aku cukup merasa terhibur. Aku jadi
teringat ketika Aku SMP. Kalian tahu, kan. Aku dan Naisa sedari kecil memang
tinggal dan besar di dalam lingkungan yang sama. Dan pada saat kami SMP, kami
juga sekolah di tempat yang sama selama dua tahun, karena setelah itu Naisa
terpaksa pindah ke luar kota karena ada masalah keluarga—soal ini akan
kuceritakan nanti.
Saat kelas VIII SMP, Aku masih ingat betul Naisa pernah berpacaran dengan
salah satu teman komplek tempatku tinggal. Sama seperti yang di alami Jimy,
hubungan Naisa dan temanku hanya bertahan satu minggu. Aku tahu dan ingat betul
apa alasan Naisa hanya mempertahan hubungannya tak lebih dari seminggu. Katanya;
“Aku hanya iseng. Ingin tahu rasanya pacaran.”
Jujur saja, itu hal ternaif yang pernah kudengar saat itu—walaupun saat itu
Aku pun sama naifnya. Dan kalian tahu apa yang kupikirkan? Aku berpikir kalau
Jimy adalah salah satu korban ‘Ke-isengan’ Naisa. Aku hanya tertawa memikirkan
hal itu.
“Kenapa kau tertawa?” kata Jimy heran, kemudian Dia pun ikut tertawa
seolah-olah tahu apa yang Aku pikirkan.
Tanpa sadar, seisi kelas ternyata sudah ramai, bangku-bangku sudah terisi
oleh teman-temanku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas dan
berakhir tepat di punggung Naisa. Sesaat Dia mengibaskan rambutnya yang seikit
basah, menyebarkan aroma sampo yang Dia gunakan. Aku dapati diriku mencium
aroma rambutnya yang menyebar. Wangi rambutnya tetap sama seperti yang biasa
Aku cium dulu.
Bel pelajaran berdering. Bersamaan dengan suara deringnya, Ibu Betty—Guru
Geografi—melangkah masuk ke dalam kelas dengan semangatnya. Walau usia hampir
menginjak kepala lima, namun semangatnya untuk mengajar—dan marah-marah—bisa
dibandingkan dengan guru-guru yang usianya jauh lebih muda darinya.
Kerudung yang beliau gunakan, membuat kedutan di wajahnya terlihat jelas.
Kelopak matanya mulai menurun, urat-urat yang seperti sungai amazon menonjol
kendur di punggung tangannya. Tapi, seperti yang Aku katakan, penampilan fisik
yang tua bukan berarti semangatnya untuk mengajar luntur seiring bertambah
umurnya.
“Baik, anak-anak,” kata Ibu Betty semangat. “Sebelum pelajaran di mulai,
alangkah baiknya kita berdoa terlebih dulu. Ketua kelas, pimpin doa.” Ku dengar
Jimy langsung memerintah seisi kelas untuk berdoa.
“Baik, hari ini kita akan belajar tentang Perpindahan penduduk dan
Jenis-jenisnya. Buka buku Geografi kalian halaman 10.” Begitu semangatnya Ibu
Betty memulai pelajaran hari ini. Begitu juga denganku, Geografi adalah
pelajaran favoritku sampai saat ini.
***
Pukul 12.30 jam
sekolah sudah usai. Matematika memang pelajaran yang paling ampuh membuat
semangatku belajarku luntur di jam-jam terakhir sekolah. Riuh rendah murid-murid
yang kegirangan terdengar di sana-sini. Aku membenahi buku-bukuku kedalam tas.
Jimy sudah melakukan hal itu lebih dulu dan sudah bersiap pulang.
“Auzril,” katanya seraya berdiri. “Aku pulang duluan, yah. Seperti biasa,
Ika sudah menungguku di luar.” “Oh, baiklah. Sampaikan salamku untuk Ika.”
“Siap, Komandan!.” Sebelum melangkah keluar kelas, Aku melihat Jimy pun
berpamitan pulang pada Naisa dan Naisa membalasnya dengan hangat.
Baru saja Aku hendak berdiri dari bangkuku, tiba-tiba
terdengar dering SMS dari handphoneku. Kulihat nama yang terpampang di layar,
di sana bertuliskan From: Arman. Aku buka dan kubaca.
Jangan pulang tanpaku. Aku yang
bayar ongkos angkotnya nanti.
Dari isi SMS-nya,
sepertinya kelas Arman masih belum selesai belajar.
Oke, Aku tunggu di depan
kelasku.
Ku kirim SMS
jawabanku. Aku langsung melenggang ke luar kelas. Tapi, saat hendak melangkah,
kakiku mendadak berhenti saat mendengar suara Naisa. “Pulang?” Aku menengok ke
arahnya. Tubuhnya yang langsing dan sedikit pendek dariku berdiri di sampingku.
Aku menatap mata bulat dan wajah tirusnya. Mencoba mengira kalau pertanyaan
tadi hanya basa-basi.
“Yah,” Kataku. “Mau pulang bersama?” Aku berbasa-basi. Ingat, kami tinggal
dalam komplek perumahan yang sama, jadi apa salahnya mengajaknya walau hanya
basa-basi.
“Trims,” katanya seraya menaikan tasnya lebih dalam. “Tapi, Aku ada janji
dengan teman-temanku.”
“Oh. Baiklah, Aku duluan.” Kulihat Dia tersenyum dan mengangguk.
Well, Aku tahu siapa yang di maksud teman-temannya. Mereka
pasti teman satu geng Naisa. Tak mau memikirkan tentang orang-orang itu, Aku
lalu melenggang ke luar kelas. Alih-alih menunggu Arman, Aku malah duduk-duduk
di depan kelas seraya mendengarkan musik lewat handphoneku.
Konsentrasiku buyar ketika mendengar suara perempuan-perempuan yang luar
biasa berisiknya. Aku tahu, koridor sekolah pasti ramai oleh orang-orang yang
berlalu lalang, tapi orang-orang itu bisa membuat kegaduhan lebih hebat dari
siapapun. Kutengokan kepalaku ke sumber suara itu dan tepat sekali dugaanku,
itu teman satu geng Naisa.
6 orang—atau lebih tepatnya 5 orang kalau kau mau menghitung orang yang tambun
itu 1. 4 perempuan, 3 di antaranya kurus, sisanya perempuan gemuk seperti
tante-tante dan 1 lelaki tambun yang kelakuannya seperti perempuan. Orang-orang
itu berjalan mendekat ke arah masih dengan obrolan mereka yang heboh dan
terkesan kekota-kotaan walau terdengar “maksa”. Aku tahu, mereka pasti
menjemput Naisa, tak ku sangka Naisa bisa berteman dengan orang-orang seperti
mereka sekian lama.
Aku mencoba tak mengacuhkannya dan mengembalikan konstrasiku pada musik.
Tak lama keriuhan dari orang-orang itu terdengar lagi, menembus headset yang Aku kenakan. Ku lihat
lelaki tambun itu asyik berbicara di hadapan teman-temannya dan Naisa sambil
berjalan mundur. Di arah yang berlawan aku lihat adik kelas perempuan kesulitan
membawa beberapa buku tebal. Dalam hitungan detik mereka bertabrakan, perempuan
yang membawa buku itu terjatuh bersamaan dengan buku-bukunya.
Lelaki tambun itu berbalik dan menatap perempuan yang terjatuh. “Kalau
jalan lihat-lihat, dong!” bentaknya pada perempuan itu.
“Maaf, kak.” Jawab perempuan itu lemah seraya mengumpulkan buku-bukunya.
Seketika itu juga reflekku muncul, aku berdiri dan menghampiri perempuan
itu dan membantunya merapikan buku-bukunya. Setelah itu aku bantu perempuan itu
berdiri. Kulepaskan headset-ku, dan
menyuruh anak perempuan itu kembali berjalan.
“Terima Kasih, Kak.” Kata anak
perempuan itu tanpa memandangku. Lalu anak perempuan itu hilang di balik
teman-teman Naisa.
“Kau yang harusnya lihat-lihat kalau jalan.” Kataku dingin.
Ekspresi lelaki tambun itu menjadi marah. Naisa hanya tertunduk melihatku
mengatakan itu.
“Apa masalahmu?” lelaki tambun itu menantang.
“Tidak ada,” kataku santai. “tapi, seharusnya kau tahu jalan ini bukan
milikmu.”
Di balik orang-orang di hadapanku, kulihat Arman keluar dari kelasnya dan
berjalan mendekat ke arah kami. Aku tahu, lelaki tambun dan teman-temannya
menyumpah serapahiku, tapi aku tak memperdulikannya. Aku melenggang ke arah
Arman.
“Ada apa?” tanyanya ketika aku menghampirinya.
“Tidak ada,” jawabku datar. “Kau tahu, kan, apa jadinya kalau ada mereka?”
kataku seraya menatap teman-teman satu geng Naisa.
Arman hanya mengangguk. “Sudahlah, jangan di perpanjang,” Katanya. Aku
mengangguk. “Ayo pulang.” Aku mengekor dibelakang Arman.
Saat melewati orang-orang itu lagi, ku dengar lelaki tambun itu bicara.
“Jangan bersikap sok jagoan.”
Anjing menggonggong kafilah berlalu.
***
Aku tiba di komplek
perumahan sedikit lebih sore. Sebelum pulang, Aku dan Arman nongkrong-nongkrong
sejenak bersama teman-teman satu band-ku di sebuah café sederhana di tempatku.
Saat melewati rumah Naisa, entah kenapa jantungku jadi berdetak sedikit
lebih cepat dari biasanya. Alih-alih menghilangkan perasaan aneh itu, aku
mencoba bercermin pada jendela rumah Naisa yang berkaca bening. Aku sedikit
membereskan rambutku yang berantakan karena angin saat naik motor tadi.
Gerakanku terhenti ketika melihat samar sesosok perempuan yang masih
mengenakan seragam SMA di balik kaca jendela. Aku tahu betul siapa yang berada
di sana. Kulihat perempuan itu seperti menahan tawa, membuat lesung yang kecil
di kedua pipinya saat melihatku susah payah merapikan rambut ikalku. Aku masih
terpaku di sana, permandangan se-dramatik itu tak pernah kulihat sebelumnya;
Sosok Naisa yang samar-samar terlihat sedang memandangku, ditimpah sedikit
cahaya matahari yang menembus jendela itu. Melihat hal itu, entah kenapa
seolah-olah aku tak ingin waktu cepat berlalu.
Aku hampir tidak tahu harus berbuat apa. Yang aku lakukan hanya membalas
senyum itu, walau terkesan kaku dan kaget. Untuk sesaat aku kembali menatap
mata bulatnya yang samar terlihat di balik kaca, lalu aku melenggang pergi
menuju rumahku.
Hari ini semuanya semakin jelas terlihat. Dari cara Naisa menyapaku tadi
pagi, sedikit berbasa-basi sesaat setelah sekolah, dan menatapku dan tersenyum
padaku dari balik jendelanya. Mungkin mulai hari ini Naisa benar-benar mulai
berubah, kembali menerima keberadaanku secara utuh dan kembali berniat menjalin
hubungan persahabatan yang dulu sempat berakhir—aku harap begitu.
TIGA
Seperti Biasa, sebelum berangkat sekolah aku sarapan
bersama dengan orang tuaku. Namun, tak banyak yang kami bicarakan saat sarapan,
biasanya aku akan lebih fokus pada makananku. Setelah sarapan aku langsung
pamit dengan orang tuaku dan berangkat sekolah. Setelah itu kedua orang tuaku
menyusul untuk pergi bekerja. Bisa kalian bayangkan bagaimana “datarnya”
suasana dalam rumahku.
***
Hari itu aku merasa sangat bosan. Aku malas melakukan
apapun di sekolah, jangankan untuk berpikir saat belajar, untuk bercanda dengan
Jimy pun aku malas melakukannya. Ditambah, langit musim kemarau diselimuti awan
hitam sedari pagi membuat mood-ku
semakin jelek.
Di kantin sekolah saat jam istirahat, aku hanya
memutar-mutar sedotan dari gelas minumanku, Jimy biasanya menemaniku saat
istrahat seperti ini, tapi entah ke mana sekarang. Pikiranku bercabang entah
kemana. Sampai kusadari, ujung mataku menangkap sosok yang berjalan menuju
perpustakaan. Letak perpustakaan yang letaknya tidak jauh dari kantin
memudahkanku untuk melihat lebih jelas siapa orang yang berjalan itu.
Naisa, tidak biasanya dia pergi ke perpustakaan, namun
setelah beberapa detik akhirnya aku tahu Naisa tidak benar-benar pergi ke
perpustakaan, melainkan pergi ke lahan kosong yang luas di belakang
perpustakaan. Aku sendiri belum pernah ke sana sebelumnya.
Entah kenapa, pikiranku malah memaksaku untuk pergi ke
sana. Bukan karena ingin bertemu Naisa, melainkan untuk membunuh kebosananku
hari itu, siapa tahu ada suatu hal yang menarik untuk dilihat di sana.
Setelah membayar minuman kepada penjaga kantin aku
langsung melenggangkan tubuhku ke sana. Ternyata, keadaanya jauh dari yang aku
bayangkan. Di sana ada pagar yang sudah diselimuti tanaman-tanaman merambat dan
ada sebuah pintu yang besi-besinya sudah berkarat dan keadaannya sudah
terbuka—suasananya terasa angker.
Mungkin Naisa berada di dalam dan aku melanjutkan
langkahku ke dalam sana.
Ternyata keadaan di balik pagar ini sangatlah berbeda
dari yang ada di depan. Di sana ada sebuah pohon besar dan rindang yang
dibawahnya terdapat kursi rendah yang terbuat dari kayu. Rumput-rumput pendek
melapisi tanah di bawahnya dan lahan berumput itu di kelilingi ilalang-ilalang
yang besar dan mulai bermekaran.
Langkahku terhenti saat melihat Naisa yang sedang
memainkan ilalang. Permandangan itu semakin terlihat dramatis di mataku, sosok
Naisa menjadi siluet dari terpaan sinar matahari yang redup diselimuti awan
hitam.
Kemudian siluet itu mulai mencabuti bulu-bulu ilalang
yang dipegangnya lalu meniupnya hingga terbawa angin. Untuk sesaat aku lupa
cara untuk bernapas ketika melihat Naisa seperi itu. Aku tidak pernah melihat
Naisa melakukan hal senatural itu. Dari caranya melakukan itu, sepertinya Naisa
sudah sering datang ke tempat ini. Aku tidak pernah menyangka kalau orang
seperti Naisa memiliki tempat seperti ini untuknya menyendiri.
“Auzril?” tanya Naisa lembut meruntuhkan lamunanku,
“Sedang apa kau di sini?” mungkin Naisa terkejut kenapa aku bisa sampai ada di
sini, lalu ia berdiri menghadap padaku.
“Aku bosan, jadi aku berjalan-jalan di sekitar sini dan
aku sampai di sini.” Kataku sedikit berbohong. Lalu Aku berjalan dan
mendaratkan bokongku di atas kursi rendah itu.
Sinar matahari mulai menembus awan-awan hitam yang mulai
menghilang. Ternyata hari ini tidak jadi hujan. Naisa mamatung di hadapanku,
air mukanya heran. Wajar saja, mungkin tidak ada orang lain yang pernah ke sini
kecuali dia sendiri.
“Duduklah.” Kataku seraya menepuk-nepuk bagian yang
kosong dari kursi itu, aku mencoba untuk lebih akrab dengannya sekarang. Naisa
masih berdiri di tempatnya. Lalu ia duduk di sampingku walau jaraknya berjauhan
denganku. Cuaca hari ini semakin cerah bersamaan dengan mood-ku yang kembali ceria.
“Aku tahu kau berbohong,” Naisa menatapku. Tatapannya benar-benar menusuk
perasaanku. “Kau masih tidak berubah, kau terlalu amatir untuk berbohong.”
Mendengar itu, aku merasa Naisa masih mengenalku dengan baik. 12 tahun
kebersamaan kami sepertinya tidak bisa membuat kami melupakan kepribadian kami
masing-masing.
Aku menghela napas sejenak sebelum menjawab perkataan Naisa. “Baiklah, aku
menyerah, aku memang berbohong,” mata kami lalu bertemu. “Jujur saja, tadi saat
di kantin aku melihatmu berjalan ke tempat ini, tapi aku ke sini bukan karena
aku mengikutimu.”
Naisa terdiam sejenak, seakan mengolah setiap kata-kataku apakah aku
berbohong atau tidak. “Kau masih menjadi lelaki yang jujur, Auzril. Aku percaya
apapun alasan yang bisa membuatmu datang ke sini.” Perkataan Naisa semakin
memperjelas kalau dia masih mengenaliku. dengan baik. Itu suatu hal yang tidak
aku duga sebelumnya.
Untuk beberapa saat tak ada kata yang kami ucapkan, kami sibuk dengan
pikiran kami masing-masing. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut tempat
ini dan mataku terhenti pada permandangan Gunung Salak yang agung berdiri kokoh
diterpa sinar matahari. Sawah-sawah yang berada di balik ilalang-ilalang
membuat permandangan itu semakin indah. Mungkin ini salah satu alasan Naisa
memilih tempat ini sebagai tempat menyendirinya.
“Oh, iya,” kataku menghancurkan dinding kesunyian sesaat di antara kami.
“Tidak biasanya kau seperti ini, kau tahu kan maksudku, Malah menyendiri di
tempat seindah ini, tidak berkumpul dengan teman satu gengmu.”
Alih-alih menjawabku, Naisa malah mengeluarkan BlackBerry-nya. “Boleh aku
minta nomer ponselmu?” tanpa berpikir panjang aku memberinya nomer ponselku
agar Naisa cepat-cepat memberitahuku alasannya kenapa menyendiri seperti ini.
“Akan kuceritakan nanti,” jawaban yang Naisa berikan cukup mengecewakan.
Lalu dia menunjukan layar BlackBerry-nya padaku. “Sepertinya kita harus kembali
ke kelas, jam istirahat hampir habis. Kita tentu tidak ingin kena “semprot” Pak
Arif—guru Matematika kami—kan?”
Apa yang dikatakan Naisa ada benarnya juga, mungkin menyelamatkan diri dari
raungan Pak Arif lebih penting daripada sebuah alasan kenapa Naisa bisa
menemukan tempat seperti ini untuknya menyendiri.
“Benar juga. Ayo.” Tanpa sadar aku memegang tangan Naisa dan membantunya
berdiri dari kursi—itu mungkin sedikit hal dari yang namanya naluri lelaki.
Naisa tidak merespon apapun dari yang aku lakukan, lalu kami berdua berjalan
keluar dari tempat indah itu bersama-sama.
Ternyata Pak Arif tidak bisa mengajar hari ini karena ada rapat komite dan
keadaan itu diperjelas dengan pemandangan teman-temanku yang nongkrong di depan
kelas yang payungi pohon mangga yang ridang. Agar tidak menimbulkan
kecurigaan—asal kalian tahu, kebanyakan teman perempuan di kelasku itu tukang
gosip—aku menyuruh Naisa untuk masuk ke dalam kelas terlebih dulu, kemudian aku
menyusul.
Setelah Naisa masuk kelas, aku lalu bergabung dengan teman-temanku yang
sedang asik mengobrol di bawah pohon mangga. Di sana ada Jimy, Nurul, Restu dan
beberapa temanku yang lainnya.
“Kau dari mana saja, Auzril?” kata Jimy di barengi tatapan 2 pasang mata
teman-temanku yang lain.
“Kau yang ke mana saat istirahat tadi?” aku balik bertanya.
“Maaf, teman. Pacarku memintaku untuk memabantu mengerjakan PR
Akuntansinya.” Aku hanya mengangguk tanda mengerti.
“Terus kalian berdua ke mana tadi saat istirahat?” aku bertanya pada Nurul
dan Restu.
“Aku tadi rapat Paskibra.” Jawab
Nurul.
“Aku tidak kemana-mana, aku dikelas seharian.” Kata restu. Aku menggangguk.
“Ya, sudah. Aku mau masuk ke kelas dulu.”
Saat aku hendak masuk ke dalam kelas, Nurul cepat-cepat memanggilku. Aku
berbalik dan menatap Nurul—ngomong-ngomong, orang tua mana yang tega memberikan
nama anak laki-lakinya Nurul yang biasa dijadikan nama perempuan. Nurul berdiri
dan menghampiriku.
“Aku lupa, tadi ada yang menitipkan salam padamu.” Katanya setengah
berbisik.
“Hah?!” aku terkejut. Yah, karena jarang sekali ada yang menitipkan salam
untukku, lagi pula aku bukan orang popular di sekolah.
“Siapa?” tanyaku heran.
“Adik kelas kita, anak perempuan kelas XI, anggota Paskibra. Namanya Adilah.”
Aku semakin heran dan terkejut, karena yang menitipkan salam untukku adalah
seorang perempuan. Asal kalian tahu saja, aku bukan orang populer di sekolah.
“Ya sudah, kau bilang saja, aku terima salamnya.” Aku menjawab sekenaku
walaupun Aku tak tahu siapa itu Adilah. Aku menepuk pundak Nurul lalu
melenggang ke dalam kelas.
***
Itu adalah saat-saat yang cukup menyenangkan bagiku. Salah satu hal yang
membuatku senang adalah sekarang aku bisa berbicara dengan Naisa tanpa tekanan
seperti yang aku rasakan satu tahun sebelumnya dan sepertinya kami akan banyak
berbicara di tempat itu, di belakang perpustakaan.
Tapi kesenangan itu tidak berlangsung lama ketika aku sampai di rumah.
Ayahku sedang memainkan motornya, entah apa yang dia lakukan dengan motornya
itu. Tapi itu menganggu dan berisik, karena ayahku memainkan gas motornya
berulang kali. Membuatku mengurungkan niat untuk memberi salam kepadanya.
Ternyata ibu belum pulang. Itu berarti aku harus menahan rasa laparku
sejenak sampai Ibu datang dan memasak makanan makan siang. Karena sudah masuk
Jamnya, daripada aku semakin ‘panas’ aku langsung pergi mengambil Wudhu dan
Sholat dzuhur.
Aku berbaring di atas kasur seraya memainkan handphoneku, suara motor
ayahku sudah tidak terdengar ditambah setelah sholat, keadaanku jadi sedikit
tenang.
Tak lama, kudengar ucapan salam dari ruang tamu. Aku tahu siapa yang datang
itu, jadi aku langsung melenggang ke ruang tamu. “Sudah makan siang belum,
nak?” tanya ibuku setelah aku menyalami tangannya yang mulai kendur kulitnya.
“Belum.” Jawabku semangat, karena aku tahu ibu pasti membawa makanan.
“Ini, Bakso kesukaanmu. Cepat makan sana, ibu mau ke kamar mandi dulu.”
Aku langsung menyambar bungkus Bakso itu dan membawanya ke dapur. Ada dua
bungkus Bakso yang ibu beli, sepertinya satu bungkus yang lainnya itu untuk
Ayah. Tapi, siapa peduli, jadi aku membiarkan bakso itu tetap terbungkus
plastik.
Setelah makan, aku kembali ke dalam kamarku dan mengambil Ponselku.
Ternyata ada pesan yang masuk dan aku buka pesan itu;
Auzril, ini aku, Naisa. Soal yang tadi, bagaimana kalau
kita bicarakan besok pada jam istirahat? Ditempat yang kemarin. Bagaimana?
Saat membaca pesan
itu, entah kenapa aku merasa, aku ingin dunia cepatlah berputar dan berharap
hari esok cepat datang. Aku langsung membalas Pesan itu;
Oke, boleh saja. Sepertinya kau harus berhati-hati,
karena sepertinya aku juga menyukai tempat itu.! :D
Kukirim pesan itu dengan perasaan campur aduk dalam hatiku. Tak lama
berselang, Ponselku kembali berdering. Aku buka balasan dari Naisa.
Sepertinya aku harus menyiapkan surat pajak tempat
:D oke, sampai bertemu besok.
Aku tidak berniat membalasnya. Sekarang jam-nya orang-orang untuk istirahat
siang, mungkin Naisa sedang mencoba istirahat sekarang, begitu juga denganku,
hingga pada akhirnya rasa kantuk menyerangku. Oke, sampai bertemu besok juga, Naisa. Kataku dalam hati sesaat
sebelum kesadaran hilang terbawa ke alam tidur.
***
Keesokan harinya, dengan segenap ketidak sabaranku, akhirnya Naisa
memintaku menemaninya setelah pulang sekolah di sana. Setelah bertemu dengan
Arman dan menjelaskan kalau aku tidak akan pulang dengannya, aku langsung pergi
menuju tempat itu.
Langit yang cerah seakan tahu isi hatiku yang ceria. Sesampainya di sana,
aku melihat Naisa sedang mengelus-ngelus bulu ilalang yang dipegangnya. Tanpa
bermaksud mengagetkannya, aku langsung menyapanya dan duduk di sampingnya.
“Hai, sudah lama menunggu?” kataku seraya tersenyum padanya.
“Hai, tidak juga.” Dia sedikit menggeserkan tubuhnya agar aku mendapat
ruang yang cukup untuk duduk.
“Jadi,” kataku memulai pembicaraan. “hal apa yang akan kau bicarakan
sekarang?”
“Oh, iya. Aku lupa.” Ia membetulkan posisi duduknya dan kembali berbicara.
“Kenapa aku sampai bisa berada di sini berawal satu minggu yang lalu. Aku mulai
merasa jenuh bergabung dengan teman-teman satu geng-ku,” Aku menyimak tiap kata
yang dia ucapkan. Kemudian dia melanjutkan. “Aku berjalan-jalan di sekitar
sekolah untuk menghindari mereka dan tidak sengaja aku menemukan tempat ini.”
Aku tahu, Naisa tidak berbohong tentang masalah ini. Sepertinya sudah lama
sekali dia ingin menceritakan masalah ini.
“Tapi, bagaimana mungkin. Maksudku, apa yang membuatmu jenuh bergabung
dengan teman-temanmu itu?” tanyaku seraya memandang wajah Naisa yang terkesan
murung.
“Kau pun tahu alasannya, Auzril.”
Mungkin yang dikatakan Naisa adalah kenyataan bahwa teman-temannya memang
tidak baik. Kehidupan mereka terkesan hedonis dan materialistis. Wajar saja,
Naisa sudah lama hidup dengan gaya yang sederhana, walau kenyataannya Naisa
adalah anak orang kaya. Mungkin lifestyle yang teman-temannya tularkan
sulit untuk Naisa terima.
“Di sisi lain, aku tidak punya teman lagi selain mereka, aku tidak mungkin
meninggalkan mereka. Entahlah, aku merasa galau akhir-akhir ini.”
Kata-kata itu semakin lemah terdengar dan terdengar menyakitkan di
telingaku. Jadi, aku, Jimy dan teman-teman lain dianggap apa olehnya selama ini?
“Kau kejam,” kataku, air wajah Naisa berubah kaget. “Jadi, selama ini kau
menganggap aku, Jimy dan teman-teman lain siapa?”
dia tidak mengucapkan apapun. Seketika itu suasana menjadi dingin.
Tak lama kemudia
dia menatapku dan berkata.
“Maafkan aku.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Aku telah merusak hubungan persahabatan kita. Aku tak mengacuhkanmu, aku meninggalkanmu dan
memilih teman yang salah.”
“Tidak perlu minta maaf.” Kataku lalu menggeser dudukku agar lebih dekat
dengannya.
“Aku merasa kejam,” lalu dia mengedarkan pandangannya ke arah Gunung Salak
yang agung. “Kau pasti marah padaku.”
Untuk sesaat aku tidak bisa menjawab perkataan itu, tapi kemudian aku
menjawabnya.
“Kau benar, aku
memang marah dan benci padamu saat itu,” mata kami kemudian bertemu. “Tapi asal kau tahu, sekeras apapun aku
mencoba melakukannya, membencimu adalah hal yag sulit aku lakukan.”
Ketika ucapanku berakhir, angin bertiup sepoi memeluk kami berdua. Membuat
rambut sebahu Naisa berterbangan. Aku tahu, Naisa pasti kaget mendangar
kata-kataku itu, karena aku juga merasa Gombal saat mengatakan itu. Sejenak dia
menatapku, dan tatapan yang tulus seperti ini yang melemahkanku saat berhadapan
dengannya.
“Terima kasih, Auzril.” Katanya memecah keheningan. Dia lalu mengelus
punggung telapak tanganku.
“Sama-sama, sudahlah. Jangan diperpanjang. Aku tidak suka suasana serius
seperti ini.” Aku tertawa seraya menggenggam tangan Naisa. Naisa pun ikut
tertawa.
Saat menyenangkan seperti ini, entah kenapa waktu terasa cepat berputar.
Banyak hal yang kami bicarakan hingga kami tidak sadar kalau matahari sudah
bersembunyi di balik gunung. Lembayung mulai merenda di langit. Dan akhirnya
aku sadar, hari ini tak lama lagi akan berakhir.
Sayang sekali.
fahrul rozi. 17 Oktober 2012
0 komentar :
Posting Komentar