EMPAT
Menyinggahkan diri
di padang ilalang di belakang perpustakaan sudah menjadi kebiasaan bagiku dan
bagi Naisa. Hingga pada akhir semester 1, sebelum liburan, untuk terakhir
kalinya aku dan Naisa menghabiskan sore bersama di sana.
Banyak
yang kami bicarakan, salah satunya adalah tentang kuliah. Aku ingat betul dia
bertanya dengan sangat antusias padaku tentang akan ke mana aku akan
melanjutkan kuliahku setelah SMA.
“Jadi,”
katanya seraya memainkan ilalang di tangannya. “Setelah ini, kau mau
melanjutkan ke mana? Kuliah atau langsung bekerja?”
“Entahlah,”
kataku. “Kedua orang tuaku ingin aku kuliah di UNJ, UNPAD atau masuk IPDN”
“Biar
kutebak,” katanya. “Orang tuamu menginginkanmu untuk menjadi guru atau pegawai
negeri?”
Aku
terkejut mendengar tebakannya. Hampir 100% benar. Naisa tersenyum melihat
kekagetanku. Yah, bagaimanapun Naisa benar. Kedua orang tuaku memang
menginginkanku menjadi Guru yang bertitel pegawai negeri atau pegawai negeri
sipil di kantor-kantor pemerintahan seperti mereka agar kehidupanku terjamin di
masa tua nanti.
Niat
kedua orang tuaku memang begitu mulia, sudah memikirkan hal sampai sejauh itu.
Tapi, aku bercita-cita kuliah di tempat lain, di Universitas yang aku kenal
ketika aku mulai bermain musik.
“Tebakanmu
tepat,” kataku. “tapi, sebenarnya aku ingin kuliah di tempat lain.” Seraya
mencabut satu ilalang di dekatku.
“Oh,
ya?” Naisa masih memainkan ilalangnya. “memang kau ingin kuliah di mana?” lalu
menatapku.
“Di
New York, di Berklee Music Collage. Tapi, sepertinya itu mustahil.”
Berklee
music collage adalah salah satu institut musik terkenal di dunia dan sudah
banyak melahirkan musisi terkenal dan berbakat, di antaranya Mike Mangini, Mike
Portnoy, John Petrucci dan musisi berbakat lainnya, dan aku sangat ingin
bersekolah di sana.
“Cita-citamu
bagus, aku mendukungmu.” Naisa menaikan sudut bibirnya padaku.
“Terima
kasih.” Kataku dan membalas senyum manis itu.
Aku
lalu mencabuti bulu ilalang itu dan meniupnya. Untuk sesaat tidak ada suara di
antara kami, hanya terdengar desiran angin yang menggesek dahan pohon dan
nyaanyian beberapa burung di atas kami.
“Lalu,”
kataku memecah kediaman. “Kau akan melanjutkan ke mana setelah ini?”
Dia
menatap Gunung Salak yang agung. Matanya bersinar.
“Entahlah,
aku belum punya rencana.” Katanya.
Naisa
jelas-jelas berbohong, dengan melihat matanya yang bersinar saja aku tahu kalau
ada yang dia mimpikan. Tapi, aku tak berniat menanyakannya. Ada waktunya dia
menceritakan semuanya padaku—mungkin.
“Dan
masalah liburan, ngomong-ngomong kau ada rencana ke mana?” aku memulai
pembicaraan lagi. “Satu minggu pertama liburan, aku dan keluarga berencana akan
pergi ke Banten, ke rumah nenek. Kau sendiri?”
“Semua
keluargaku tinggal di kota ini. Jadi, sepertinya aku tidak akan ke mana-mana.”
Naisa hanya mengangguk.
Satu
minggu adalah waktu yang tidak sebentar. Mungkin aku akan merindukan Naisa,
maksudku kami baru saja berbaikan dan sering menghabiskan waktu bersama
akhir-akhir ini, pasti akan ada sesuatu yang hilang untuk sesaat.
Naisa
lalu mengeluarkan BlackBerry-nya.
“Auzril,
ini sudah sore, sebaiknya kita pulang.” Seraya menunjukan layar BlackBerry-nya
padaku.
“Betul
juga.” Kataku seraya memandang matahari yang perlahan sembunyi di balik Gunung
Salak.
Naisa
berdiri di hadapanku seraya mencabuti bulu ilalang itu dan perlahan dia mulai
meniupnya. Aku tersenyum melihat dirinya kegirangan saat melihat bulu-bulu
ilalang itu berterbangan.
Kemudian
aku ikut berdiri di belakangnya. “Mau pulang atau tidak?” kataku. Secara
dramatis Naisa memutar lehernya hingga rambutnya terimbas. “Aku tidak mau
kepalaku dihantam palu Ayahmu karena membiarkan anaknya pulang terlalu sore.”
Kemudia aku berjalan meninggalkannya.
“Tunggu,
Auzril.” Lalu dia mengekor di belakangku.
***
Sehari
sebelum Naisa pergi berlibur ke Banten, aku mencoba membuat pertemuan dengannya
di sekitaran komplek perumahan. Dan aku memberikan hadiah kecil padanya, berupa
gantungan resin yang di dalamnya ada miniatur ilalangnya.
“Ini,
untukmu. Anggap saja ini hadiah pertemanan kita, yah, walau tidak seberapa
kuharap kau suka.” kataku seraya menunjukan gantungan. Entah apa yang ada
dipikiran Naisa saat itu.
“Bagus,
sekali. Aku menyukainya” katanya lalu meraih gantungan itu dari tanganku. “Aku
akan langsung memakainya.”
Tanpa
sadar, gigi-gigiku mengering karena terlalu lama tersenyum melihat Naisa yang
senang dan menerima hadiah sederhana dariku itu.
“Terima
kasih.” Katanya seraya menatapku ceria.
“itu cuma hadiah sederhana.” Aku coba
menyanggah.
“Tidak,
ini sangat berkesan bagiku.” Katanya seraya menunjuk gantungan itu.
Apalagi
yang bisa kulakukan selain tersenyum bahagia saat mendengar Naisa mengetakan
itu?
“Sekali
lagi, terima kasih, Auzril.” Seraya menunjukan gantungan yang sudah dipasangkan
ke Cassing BlackBerry-nya.
“Terima
kasih juga karena sudah menerimanya.” Naisa menganngguk. “Jangan lupa kabari
aku selama kau di sana.”
“Baik.”
Lalu
kami berdua melenggang pergi. Aku menyempatkan diriku mengantar Naisa pulang.
Di rumahnya aku bertemu dengan adik lelaki dan ibunya. Untuk sesaat aku menyempatkan
diri untuk mengobrol dengan ibu tirinyanya. Sebagai ibu tiri, sikapnya terlalu
lembut dan ramah, tidak seperti yang aku lihat di sinetron-sinetron. Setelah
itu aku berpamitan dengan ibu dan pada Naisa sendiri.
***
Kukira
hari-hari liburku akan berjalan biasa saja. Ternyata aku sedikit dibuat sibuk
oleh Armand dan teman satu band-ku untuk persiapan Pentas Seni yang akan di
laksanakan pihak sekolah beberapa hari setelah kegiatan berlajar semester 2
berjalan. Dilaksanakan lebih cepat dari biasanya.
Asal
kalian tahu, aku sudah membuat dua buah lagu dan semuanya lagu itu yang akan
aku tampilkan di acara Pensi nanti. Jarang sekali seorang drummer membuat lagu
dan lagu yang aku buat sebagai drummer bisa dibilang layak untuk dengar. Selain
musiknya yang aku konsep sendiri, liriknya yang melankolis juga aku sendiri
yang buat. Pokoknya ini akan menjadi kejutan untuk seisi sekolah.
Satu
hal lagi yang membuat liburanku sedikit menyenangkan. Ternyata Naisa menepati
janjinya untuk memberiku kabar.
Kami
saling bertukar kabar lewat SMS atau bertelepon. Seperti sepasang kekasih, kami
bisa menghabiskan waktu makan siang hanya untuk bertelepon ria. Tapi, hal itu
tidak membuat kegiatan latihanku kacau. Aku malah semakin semangat untuk
berlatih.
“Kau
tahu, Auzri, di sini aku tidak punya teman hanya keponakan dan adikku saja
temanku di sini,” Keluhnya di ujung telepon. “tapi, dengan melihat hadiah yang
kau berikan, entah kenapa untuk sesaat aku merasa tak sendiri.”
Aku
tahu ucapan Naisa itu berlebihan, atau kalian bisa menyebutnya lebay. Tapi, aku tetap tak bisa menahan
senyumku saat mendengar itu.
“Bilang
saja kau merindukanku.” Aku mencoba menggodanya.
Untuk
sesaat tidak ada jawaban di ujung sana, Kupikir candaanku terlalu berlebihan.
Tapi, kemudian Naisa mulai berbicara.
“Mungkin
kau benar,” katanya lalu mengalihkan pembicaraan.
“Kau
sedang sibuk?” tanyanya.
“Sebentar
lagi aku masuk studio, ada latihan band.”
“Oh.
Ya sudah kalau begitu. Nanti aku hubungi kau lagi.” Katanya.
“Baiklah.
Maaf, ya?”
“Tidak
usah minta maaf, latihan yang utama. Semangat!” aku tersenyum mendengar itu.
“Terima
Kasih. Sampai juma lagi. Bye.”
“Oke, Sampai jumpa. Bye.” Lalu suara dengungan terputus terdengar di telingaku.
***
Di
hari terakhir liburannya, aku mencoba menghubungi Naisa. Tapi entah sepanjang
hari itu nomor ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku sempat dibuat uring-uringan
karenanya, tapi aku mencoba berpikir positif, mungkin Naisa sedang bersiap-siap
pulang atau sedang dalam perjalanan pulang.
Keesokan
harinya Naisa sudah berada di Bogor. Aku mencoba untuk bertemu dengannya, aku
ingin mendengar cerita selama dia menghabiskan liburan di rumah neneknya di
Banten. Tapi, ketika sampai di rumahnya. Ibunya bilang kalau Naisa tidak bisa
diganggu dulu.
Oke,
Naisa mungkin kelelahan dan kenyataan kalau dia tidak boleh diganggu memang
wajar, tapi kenapa wajah Ibunya terlihat murung?
Saat
aku melenggang keluar rumah Naisa. Aku melihat Naisa di balik jendela kamarnya,
dengan berlinang air mata.
Aku
seperti ditampar saat melihat Naisa menangis. Aku mematung seperti orang tolol
seraya menatap Naisa yang sudah masuk ke dalam kamarnya.
Apa yang terjadi? Kenapa ibunya murung? Kenapa Naisa
menangis? Segala pertanyaan muncul dalam
hatiku. Kuharap tidak terjadi apa-apa pada Naisa. Kuharap tidak ada hal buruk
yang akan terjadi. Semoga.
LIMA
Lain kemarin, lain pula esok harinya. Keesokan sorenya, tak kusangka Naisa
berkunjung ke rumahku, walaupun ini bukan untuk pertama kalinya dia ke sini,
tapi rasanya sudah lama sekali sejak Naisa terakhir ke rumahku.
Dia berdiri di ambang pintu rumahku saat aku membuka
pintu. Senyumnya merekah indah, tak ada sisa kesedihan yang aku lihat sehari
sebelumnya. Dengan mengenakan T-Shirt berlengan panjang motif garis-garis
berwarna pink disandingkan dengan Rok jeans panjang terurai Naisa nampak begitu
anggun dengan rambut ikal panjang yang di ikat kuda.
“Hai, Auzril.” Sapanya.
“Hai,” Suara terdengar lebih tinggi. “Silahkan duduk.” Seraya
mempersilahkan tempat duduk di teras rumahku.
Bukannya aku tidak mau mempersilahkan Naisa masuk ke
dalam rumahku, tapi, dalam ajaran agamaku, sepasang muda-mudi memang dilarang
berduaan di dalam rumah—Aku kurang tahu detailnya, tapi kira-kira seperti
itulah yang di yang Ustad katakan ketika memberikan kuliah shubuh yang pernah
aku ikuti—dan kebetulan di rumahku sedang tidak ada siapa-siapa selain aku.
Lagi pula Naisa cucu dari tokoh masyarakat di tempat tinggalku. Jadi, lebih
baik kami mengobrol di teras daripada untuk menjauhkan fitnah. Lagi pula aku
tidak mau sore itu berakhir seperti di film-film biru Jepang. Jika kalian
mengerti maksudku.
“Mau minum apa?” tawarku. “
Tidak perlu, aku tidak lama. Terima kasih.” Katanya.
“Sudah. Tunggu sebentar aku ambil minum dulu, sekalian
ganti baju.” Kataku seraya menunjuk pakaian yang aku kenakan; kaos polos dengan
boxer pendek di atas lutut. Kemudian aku melenggang masuk ke dalam rumah.
Tak lama berselang, aku sudah mengganti pakaianku; kaos
lacos merah dengan jeans pendek seraya membawa 2 gelas sirup dingin.
“Silahkan diminum.” Kataku ketika meletakan gelas di
meja.
“Terima kasih.” Katanya dan memandangku sampai aku
mendaratkan bokongku di kursi teras yang empuk dan berlengan.
“Sebenarnya aku tidak akan lama.” Ujarnya.
“Kenapa mesti
buru-buru, kita baru saja duduk.” Kataku lalu menengguk gelas berisi sirup rasa
strawberry. Sebetulnya sih, aku tidak merasakan apa-apa dari apa yang aku
minum. Manisnya senyum Naisa ternyata lebih manis dari sirup ini.
“Sebenarnya aku ingin mengajakmu jalan-jalan,” aku hampir
terbatuk saat mendengar itu. “Hanya di sekitar sini saja. Aku sedang jenuh. Kau
mau menemaniku?”
Dengan senang
hati. Pikirku.
“Boleh. Kebetulan aku juga jenuh seharian berada di rumah.” Kataku.
Tanpa berpikir panjang, kami lalu melenggang pergi,
tentunya setelah aku mengunci pintu rumah dan menaruh kucinya di tempat rahasia
yang hanya diketahui oleh keluargaku.
Walau akses jalan di kopleks ini tidak seramai jalan
raya—atau bisa dibilang sepi, tapi aku tidak membiarkan Naisa berjalan dekat
bahu jalan. Jadi aku menempatkan diriku di tengah-tengah Naisa dan bahu jalan.
Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin kejadian hari itu terulang, itu sangat
beresiko.
Matahari perlahan turun ketika kami berjalan di bawah
pohon-pohon rindang yang tumbuh di sepanjang jalan.
“Jadi,” kataku memulai pembicaraan. “Mau ke mana kita?”
Naisa tidak langsung menjawab, karena saat itu ada
segerombolan anak kecil yang menggoda kami berdua. A Auzril sama Teh Naisa pacaran kira-kira seperti itu yang
dikatakan anak-anak kecil itu pada saat itu.
Naisa tertawa kecil ketika melihat anak-anak kecil itu
berlari riang tanpa merasa bersalah dengan apa yang baru dia lakukan. (“A”
adalah sebutan kakak laki-laki, “Teh” adalah sebutan kakak perempuan dalam
Bahasa Sunda)
“Rahasia,” ujarnya. “Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke
sana dari kemarin.”
Sekitar sepuluh menitan kami berjalan, melewati
persawahan yang luas di belakang kompleks perumahan akhirnya kami sampai di
sebuah bukit kecil yang di tumbuhi banyak ilalang. Saat melihat ilalang itu,
akhirnya aku sadar kalau Naisa menyukai ilalang.
Bukit itu sendiri sekilas mirip dengan padang ilalang di
belakang perpustakaan; dihampari rumput-rumput pendek, terdapat sebatang pohon
rindang yang mencondong ke arah persawahan, di bawah pohon itu ada batang pohon
yang tergeletak, akhirnya kami duduk di batang pohon itu.
“Sepertinya ada yang menyukai ilang akhir-akhir ini.”
Kataku seraya mencabut satu ilalang.
“Kau benar. Aku memang menyukai mereka.” Lalu kemi duduk di atas batang pohon itu.
Dari bukit kecil ini, kami bisa melihat persawahan yang
baru kami lewati dan bisa melihat sebagian rumah-rumah di komplek perumahan.
Bisa di bilang tempat ini sangat nyaman. Terkadang angin membelai tubuh kami
berdua, burung-burung terkadang terdengar riang bernyanyi, ditambah cuacanya
sedang cerah.
“Boleh aku bertanya.” Kataku memulai obrolan lagi.
“Tanya apa?” Naisa menatapku.
“Jika mataku tidak salah lihat, aku kemarin melihatmu
menangis dibalik jendela kamarmu. Kenapa?” aku bertanya memang aku peduli
dengan keadaan Naisa kemarin.
“Kau benar,” ujarnya. “Aku memang menangis kemarin. Bukan
karena apa-apa, keluargaku mendapat kabar kalau nenekku mendadak jatuh sakit
saat kami baru tiba dirumah. Tentu saja aku merasa sedih.”
Aku menyimak apa yang dikatakan Naisa. Aku tidak tahu
apakah dia jujur dengan apa yang dia katakan itu. tapi, saat aku mencoba
mempercayai apa yang dikatakannya.
“Maaf, aku tidak tahu. Semoga nenekmu lekas sembuh.” Aku ikut
prihatin.
“Amin. Terima kasih, Auzril.” Katanya lembut seraya
mengangkat kedua sudut bibirnya yang manis.
***
Bersama Naisa itu berarti waktumu akan berjalan sedikit
lebih cepat daripada biasanya. Kami membiacarakan banyak hal yang menyenangkan
saat di sana sampai tak terasa langit sudah berubah jingga. Suara shalawatan dari surau sudah membahana,
aku lalu mengajaknya Naisa pulang.
Saat di depan pagar rumahnya, bulu kudukku seketika
berdiri saat melihat pria berumur sekitar 40 tahunan yang mengenakan pakaian
gamis dan sarung sedang duduk di teras rumah Naisa.
Senyum Naisa langsung merekah saat melihat ayahnya dan
langsung menghapirinya. Berbeda denganku, aku merasa takut saat melihat
ayahnya.
Nama ayah Naisa adalah Sungkar Nurhidayat. Pria yang
memiliki postur tubuh yang tinggi, kulitnya putih, wajahnya berkesan
ke-arab-araban dengan hidung mancung menjuntai dan mata bulat coklat bercahaya seperti yang dimiliki Naisa,
rambutnya sudah ditumbuhi uban-uban.
Jelas saja aku takut saat bertemu dengan Sungkar, dari bentuk fisiknya saja sudah seperti
hantu—putih, besar dan beruban. Menurut ayahku, Sungkar jarang sekali bergaul
dengan warga sekitar komplek karena kesibukannya sebagai pemilik meubel yang
sudah memiliki cabang di beberapa kota tetangga. Dan itu untuk pertama kalinya
aku bertemu lagi dengan Sungkar semenjak terakhir kali melihatnya, 2 tahun lalu.
Tapi yang lebih membuatku takut adalah kenyataan bahwa
Sungkar punya masa lalu yang cukup menggemparkan dan masih banyak di ingat oleh
orang-orang yang tinggal di komplek, termasuk ayahku.
Kalian ingat aku pernah mengatakan ‘...kepalaku dihantam palu Ayahmu’ ketika aku dan Naisa sedang
berada di padan ilalang di belakang sekolah?
Ayahku pernah cerita, jauh sebelum aku dan Naisa lahir,
Sungkar hampir pernah menghatam kepala seseorang dengan palu. Sungkar melakukan
itu bukan tanpa alasan, karena orang yang hendak dihantamnya itu adalah
pengemudi motor yang mabuk saat melewati jalan komplek, masalahnya muncul
ketika pengemudi itu menyerempet Ny. Sungkar yang sedang mengandung Naisa.
Oke, walaupun terserempet, kenyataannya Ibu Naisa
ternyata hanya mengalami memar di bagian tangannya saja dan apakah harus
pengemudi itu mendapatkan bayaran berupa Hantaman
palu di kepalanya?
Setidaknya butuh lima orang dewasa untuk mencegah Sungkar
melakukan hal yang mengerikan itu. tapi, untunglah Ibu Naisa bisa menenangkan
Sungkar dan memaafkan pengemudi mabuk itu. Lalu pengemudi itu dibawa ke pihak
yang berwajib.
Jadi itulah alasanku kenapa aku bisa sampai merasa sangat
phobia ketika bertemu Mr. Hammerman ini, bahkan sampai aku sebesar ini.
“Ayah,” katanya Naisa lali menyalimi tangan besar
ayahnya. “Ayah pulang lebih awal?”
Sungkar membelai lembut kepala anaknya. “Begitulah, ayah
pulang cepat hari ini,” Sungkar lalu menatapku, seakan mengira-ngira siapa
lelaki yang di bawa Naisa ke rumahnya.
Saat Sungkar hendak berkata, Naisa langsung berbicara,
mengenalkanku pada Sungkar.
“Ayah,” seraya memegangi tangan ayahnya. “Ini Auzri.”
Sungkar mengankat kedua alisnya.
Dengan sesopan dan selembut mungkin aku menyapa Sungkar. “Selamat
sore, Om. Saya Auzril.” Kataku setelah menyalimi tangannya yang besar—dan juga
hangat.
“Tentu,” sungkar menepuk pundakku. “mana mungkin aku
tidak mengenalmu. Saat masih kecil kau sering ke sini menemani Naisa bermain.
Kau, kan, anak temanku, Faisal.”
Air mukaku mungkin seperti orang yang menelan telur rebus
bulat-bulat saat itu. Aku terkejut dengan apa yang Sungkar katakan, terkejut
dengan kenyataan bahwa dia mengenalku dan lebih parahnya Ayahku berteman dengan
Sungkar. Sepertinya ayahku tidak pernah bercerita tentang ini.
“Maaf, Om,” kataku. “Saya tidak lama, lagipula hari sudah semakin
gelap.”
“Tidak ingin duduk dan minum dulu?” tawarnya.
“Terima kasih, Om.”
“Terima kasih,” Naisa berbicara. “Terima kasih untuk
hari ini, Auzril.” Lalu senyumnya tersungging.
“Baik. Saya pamit Om, Naisa. Assalamualaikum.”
Kataku lalu membalikan badan dan melenggang keluar rumah Naisa. Setelah
beberapa langkah, aku dengar ayah dan anak itu menjawab salamku. Dan hari itu
berlalu.
Berlalu.
***
2
minggu libur entah kenapa masih tidak cukup bagiku, masih terasa terlalu cepat.
Aku kembali bersekolah dengan mengidap holyday
syndrome. Dihari pertama sekolah, belajar akan terasa berat untuk
dikerjakan. Aku berani bertaruh kalau penyakit ini tak hanya menjangkitiku
seorang, tapi Naisa, Jimy, dan semua siswa yang sekolah pasti terjangkit.
Seakan
belum cukup membuat Mood-ku
berantakan. Pak Arif dengan seenak jidatnya menyuruhku untuk mengerjakan soal
Matematika di papan tulis. Jujur saja, aku memang paling lemah jika harus
berhadapan dengan Matematika. Nilaiku di mata pelajaran itu tak pernah lebih
batas standard dan hari itu pun aku menerima “semprotan” dari Pak Arif yang
ujung-ujungnya berimbas juga kepada teman-temanku.
Oke,
cukup ajang memalukan diri sendirinya. Tapi, disisi lain, aku punya sedikit
prestasi di bidang akademik. Dari kelas X hingga XII nilai-nilaiku di hampir
semua mata pelajaran selalu bagus, terlebih untuk Geografi, Bahasa Indonesia
dan Kesenian Budaya.
Hari
itu tidak berjalan dengan seperti yang harapkan. Tadinya, setelah pulang
sekolah aku berniat untuk pergi dan menenangkan diri di padang ialalang di
belakang perpus bersama Naisa. Tapi, saat itu Naisa sedang bersama teman
gengnya dan pergi entah ke mana setelah pulang sekolah. Dengan lesu aku pulang
ke rumah sendirian.
Ibuku
menelepon dan menyuruku untuk membelikannya pencuci muka, jadi sebelum aku
pulang, aku mampir dulu ke mini market di seberang komplek.
Aku
berjalan menyusuri rak di bagian perawatan tubuh dan akhirnya menemukan pencuci
muka yang aku cari. Kebetulan aku berada di sana, jadi aku berjalan ke bagian
makanan untuk membeli beberap cemilan
untuk mengganjal perutku. Di bagian makanan ternyata sepi.
Aku
berjongkok di depan rak, memilih makanan yang kira-kira enak untuk dimakan.
Saat aku sibuk mencari, mataku melihat benda aneh tergelatak di lantai. Dengan
cepat aku memutar leherku dan meilhat sebuah dompet—tebal—kulit berwarna
coklat.
Ketebalan dompet itu sempat membuatku galau.
Kalian tahu, kan, maksudku? Tapi aku mengurungkan niat itu dan membuka
dompetnya. Di sana terpampang kartu tanda penduduk, berfoto pria yang lumayan
keren kira-kira berumur 5 tahun lebih tua dariku.
Aku
berdiri dan berjalan di sekitar rak makanan, siapa tahu saja pemilik dompet itu
masih berada di mini market ini. Setelah beberapa lama mencari, ternyata tidak
ada orang yang merasa dirinya kehilangan dompet. Jadi, aku berniat membawa
dompet ini ke polisi setelah keluar dari mini market ini. Aku melenggang ke
meja kasir seraya membawa belanjaan.
Di
meja kasir, aku lihat seorang pria yang tingginya sama denganku, berpenampilan
seperti orang kantoran; kemeja tangan panjang dan celana panjang hitam seraya
menggantungkan jas di tangannya. Pria itu berdebat dengan petugas kasir. Karena
penasaran aku menghampirinya.
“Tapi,
dompet saya hilang. Biarkan aku mencari dompetku di mobil.” Kata-kata pria
terdengar putus asa seraya memeriksa saku belakang celananya.
Saat
kulihat pria itu. Ternyata wajahnya sama persis dengan ada yang didalam dompet.
Tanpa pikir panjang lagi aku menghampiri pria itu di barisan depan antrian.
“Maaf,
tuan. Ini dompet anda?” kataku seraya menejulurkan tanganku yang memegang
dompet.
Air
muka pria itu langsung berubah lega sekaligus curiga. Mungkin dia mengira kalau
aku yang telah mencuri dompetnya lalu pura-pura menjadi orang yang
menemukannya. Jadi, sebelum dia menuduhku aku cepat-cepat bicara.
“Maaf,
saya bukan copet. Saya masih terlalu mampu belanja di sini tanpa harus
melakukan hal hina itu.” Aku memasang senyum seraya menyosorkan dompet yang
masih aku pegang.
“Maaf.
Terima kasih.” Pria itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar
uang ratusan ribu dan memberikan sebagiannya padaku. “Ini sebagai tanda terima
kasih.”
Dia pikir aku orang
macam apa? Kataku dalam
hati. “Tidak usah repot-repot,” kataku seraya mendorong tangan yang memegang
uang itu. “lagi pula saya hanya tak sengaja menemukannya.”
“Baiklah
kalau begitu.” Lalu pria itu membayarkan belanjaannya kepada kasir. “Belanjaan
orang ini sekalian aku bayar.” Kata pria itu pada kasir.
“Saya
bilang, tidak usah repot-repot.” Suaraku sedikit meninggi.
“Sudah,
aku merasa tidak enak kalau tidak membalas kebaikan orang.” Lalu pria itu
menarikku dari antrian panjang di kasir.
Kami
berhenti di pelataran parkir mini market. Pria itu mengeluarkan sebuah kartu
dari dalam dompet lalu memasukan dompetnya ke dalam saku belakan celananya.
“Sekali
terima kasih,” kata pria itu pelan. “Ini kartu namaku.” Pria itu memberikan
sebuah kartu, kartu nama.
Aku
menerima kartu itu dan membaca keterangan yang tertera di kartu itu. Di sana
tertulis IVY LEAGUE MUSIC. Pria itu tersenyum, mungkin terhibur melihat air
wajahku yang kaget saat membaca nama perusahaan rekaman terkenal itu.
“Aku
Joseph Michael. Produser dari Ivy Music League.” Kata-kata pria itu seperti
hipnotis bagiku.
Aku
tahu siapa pria ini, hanya segilintir orang yang tahu nama itu, dia adalah
seorangg produser musik yang sedang terkenal saat ini. Dia suah memproduseri
sebuah Boybands atau kita bisa menyebutnya MahoBands
atau sebutan apapun yang pantas itu.
Aku
terdiam melihat wajahnya yang Blasteran. Dia menjulurkan tangannya.
“Kau
bisa memanggilku, Joe.”
Aku
menjabat tangannya yang halus terawat. “Namaku Auzril.”
0 komentar :
Posting Komentar